Mangrove Warisan untuk Anak Cucu, Cerita dari Desa Toseho, Maluku Utara

TROPIS.CO, JAKARTA – Toseho nama desa ini. Desa pesisir tersebut ada di Kecamatan Oba, yang menjadi bagian dari Kota Tidore Kepulauan. Mungkin asing bagi kita mendengar ada desa, dan bukan kelurahan, menjadi bagian dari sebuah kota administratif. Hal ini bisa dipahami karena dulunya Toseho bersama enam desa lainnya adalah tujuh desa tua di Halmahera yang jadi wilayah Kesultanan Tidore.

Jika ingin ke Toseho, kita tidak mulai dari Pulau Tidore, melainkan Ternate. Dari Kota Ternate kita menaiki speed boad ke Sofifi di Pulau Halmahera, yang sekarang jadi ibukota Provinsi Maluku Utara. Lalu dilanjutkan mobil sekitar 1,5 jam, untuk selanjutnya tiba di desa ini. Letak Toseho tepat di pesisir.

Dan aku duduk siang itu, 19 November 2020, bersama lebih dari dua puluh petani dan nelayan di sebuah pondok sederhana di pantai, yang langsung berseberangan dengan Pulau Makian. Turut menemaniku Asih Yunani, Kepala Balai Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan (BPDASRH), Direktorat Jenderal PDASRH, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ada pula beberapa rekan dari BPDASRH lainnya, yakni Rudianto dan Rahmat Tugalang. Juga Bagus Dwi Rahmanto dan Thomas Hartono dari ditjen PDASRH

Dan mengalirlah cerita itu. Dimulai dari sang Kepala Desa Toseho, Taufik Khalil, yang masih berusia muda, disusul tutur-tutur lainnya dari anggota kelompok. Dulunya, semua penduduk desa menetap di pantai. Mata pencaharian turun temurunnya adalah nelayan, yang dipadukan dengan berkebun di sekitar desa. Lahan ditanami tanaman khas lokal, seperti kelapa, pala, cengkeh dan sayur mayur.

Kebutuhan akan kayu bakar dan lainnya membuat banyak orang di luar desa berbondong datang ke pesisir desa ini untuk menebang soki (bahasa lokal untuk mangrove).

Penduduk desa yang polos, tidak paham arti penting mangrove dan waktu itu tidak mengira bahwa penebangan mangrove terus menerus akan meninggalkan bencana untuk penduduk desa.

Periode 1990-an sampai 2007 adalah proses abrasi terparah yang mengakibatkan lebih dari 100 keluarga sediki demi sedikit berpindah ke arah lebih jauh di daratan. Hasil laut juga menurun drastis.

Desa Toseho, yang kini dihuni oleh lebih dari 200 keluarga, kemudian belajar arti penting mangrove dari pengalaman pahit di masa lalu. Mangrove lalu ditanam mandiri secara coba-coba, meski tidak luas. Rumah juga kembali dibangun secara bergotong royong, meski sekarang letaknya lebih ke daratan.

“Kami punya sistem gotong royong turun temurun, babari. Jika ada yang membangun rumah, semua membantu dengan sukarela sampai rumah itu selesai. Dan tidak ada kewajiban untuk balas budi. Semuanya berdasarkan keikhlasan,” jelas sang kepala desa yang berusia 28 tahun ini.

Sistem gotong royong babari umumnya dipatuhi dan dijalankan penduduk desa, meski sekarang yang tinggal bukan hanya dari suku Makian Tidore. Sekarang ada pula orang Bugis, Buton, Jawa, Madura dan lainnya, yang menghuni Toseho karena kawin-mawin dengan orang lokal.

Dan ketika di masa pandemi ini ada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) penanaman Mangrove dari KLHK di Maluku Utara, Toseho menjadi salah satu desa yang menyambut gembira dan berpartisipasi dalam program ini.

Transfer ketrampilan tanam mangrove kepada masyarat terjadi dengan baik. Kelompok Toseho mampu memilih bibit yang baik, mencari ajir, menanam propagul dan membuat pagar pengaman.

Luasan 10 ha pantai yang terdampak abrasi ditanami total 33.000 bibit. Masyarakat juga berkomitmen utk menjaga mangrove itu hingga tumbuh besar.

“Untuk mangrove ini, kami juga melakukannya secara babari,” ungkap Ketua Kelompok Toseho Hijau, Saleh Ahmad, yang diamini oleh anggota kelompok yang hadir.

“Kami tidak mengejar upah, uang atau sejenisnya. Kami melakukan ini supaya mangrove nanti subur. Supaya desa tidak lagi abrasi dan kehidupan kami sebagai nelayan bisa berlanjut. Ini adalah warisan kami untuk anak cucu di sini,” ujar Kepala Desa, yang juga berfungsi sebagai pembina kelompok ini.

Semangat perjuangan Soya-Soya (tarian perang penyemangat) khas Maluku Utara nampak jelas di sini. “Soya-soya kami sekarang adalah propagul dan ajir. Kora-kora kami sekarang adalah sampan yang menghantar kami untuk mencari bibit, menanam dan menjaga wilayah. Kami pasti bisa,” ujar Taufik Khalil yang disambut dengan tepuk tangan gembira dari semua yang hadir.

Swary Utami Dewi