Kenaikan Ekspor ke Pasar Tradisional Memberi Harapan

Produksi bulan Mei yang lebih rendah dari bulan April 2020 diduga masih disebabkan efek kemarau panjang 2019 dan pengaruh musiman. Foto: TROPIS.CO/Jos
Produksi bulan Mei yang lebih rendah dari bulan April 2020 diduga masih disebabkan efek kemarau panjang 2019 dan pengaruh musiman. Foto: TROPIS.CO/Jos

TROPIS.CO, JAKARTA – Ekspor ke Tiongkok naik 37 persen menjadi 417 ribu ton meskipun masih jauh lebih rendah dari ekspor ke Tiongkok April 2019 (730 ribu ton), sedangkan ekspor ke India dan Uni Eropa juga menunjukkan sedikit kenaikan.

“Ekspor ke Pakistan naik 100 persen menjadi 201 ribu ton disebabkan impor yang sangat rendah pada bulan Maret.”

“Tren yang positif ini diperkirakan akan berjalan terus dengan semakin meredanya pandemi Covid-19,” ungkap Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (8/6/2020).

Sementara ekspor minyak sawit pada bulan April dibandingkan dengan bulan Maret 2020 mengalami penurunan sebesar 77 ribu ton, 44 ribu ton dari refined palm oil dan 33 ribu ton dari CPO (crude palm oil).

“Berdasarkan tujuannya, penurunan terbesar terjadi ke Bangladesh, Afrika dan Timur Tengah masing-masing dengan 118, 62 dan 56 ribu ton karena impor yang besar ketiga negara tersebut pada bulan Maret,” tuturnya.

Baca juga: Kamuflase Informasi Deforestasi Indonesia

Lantas dia memaparkan bahwa produksi CPO pada bulan April 12,6 persen lebih tinggi dari produksi bulan Maret, sedangkan konsumsi dalam negeri turun 6,6 persen, ekspor turun 2,8 persen , dan harga CPO turun dari rata-rata US$636 pada bulan Maret menjadi US$516 per ton- Cif Rotterdam pada bulan April sedangkan nilai ekspornya turun 10 persen dar US$1,82 miliar menjadi US$1,64 miliar.

“Dibandingkan Januari hingga April 2019, produksi CPO 2020 lebih rendah 12,2 persen, konsumsi dalam negeri lebih tinggi 6,2 persen, ekspor lebih rendah 12,1 persen dan nilai ekspor 9,4 persen lebih tinggi yaitu US$6,96 miliar dibandingkan US$6,37 miliar,” ujar Mukti.

Menurutnya, produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu merupakan efek bawaan dari kemarau panjang tahun lalu dan meningkatnya produksi pada bulan April ini diharapkan merupakan titik awal fase kenaikan produksi musiman untuk tahun 2020.

Konsumsi dalam negeri pada bulan April dibandingkan Maret turun 98 ribu ton disebabkan turunnya konsumsi biodiesel sebanyak 113 ribu ton akibat turunnya mobilitas masyarakat sedangkan lebih tingginya konsumsi biodiesel Januari sampai April 2020 dari tahun lalu disebabkan oleh implementasi B30.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diduga menyebabkan konsumsi untuk keperluan pangan naik hanya 4 ribu ton menjadi 725 ribu ton, sedangkan konsumsi oleokimia naik 11 ribu ton menjadi 115 ribu ton yang karena meningkatnya pemakaian hand sanitizer dan sabun.

Baca juga: Tekad Indonesia Bantu Petani Kopi di Tengah Pandemi Covid-19

Konsumsi oleokimia diperkirakan masih akan bertahan meskipun ada pelonggaran PSBB karena protokol covid-19 masih tetap diterapkan.

“Di tengah pandemi Covid-19 yang telah berjalan lebih dari dua bulan, kegiatan operasional di perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit juga masih berjalan normal dengan mengikuti protokol pencegahan secara disiplin,” pungkas Mukti. (*)