Bertandang ke Desa Tae, Pasca Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Tae

Pintu gerbang masuk kawasan Masyarakat Hukum Adat Ketemenggunan Tae. Foto: Istimewa
Pintu gerbang masuk kawasan Masyarakat Hukum Adat Ketemenggunan Tae. Foto: Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Kalau hitungan bulan, kini sudah hampir 20 bulan, Desa Tae mendapat pengakuan, sebagai masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Tae terasa begitu cepat waktu berlalu.

Padahal di benak masih tergiang dering telepon dari teman di Direktorat PKTHA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberitahu bahwa proses penetapan hutan adat Tae sudah selesai.

Kala itu, September 2018. Tak ingat pasti tanggal dan harinya. Namun yang terus terbayang, kata kata dari teman tadi, bahwa penyerahan Surat Keputusan Penetapan Hutan Adat Tae, bakal dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

Seakan tak percaya mendengarnya, tapi faktanya SK Menteri LHK No 5770/2018, tanggal 7 September 2018 diterima Pak Melkianus Midi, Kepala Desa Tae, dari tangan Presiden Joko Widodo langsung.

Sungguh suatu kebahagian tersendiri. Betapa tidak, sebagai tim identifikasi, setidaknya apa yang saya lakoni sebagai Pengendali Ekosistem Hutan Muda, Balai Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan Wil Kalimantan tidak sia sia dan membuahkan hasil nyata, walau ini merupakan suatu kerja bareng, kebetulan saya ada di dalamnya.

Saya senang, bangga dan bahagia. Tentu kesenangan dan kebahagian masyarakat Desa Tae, pasti melebihi apa yang saya rasakan. Dan nyatanya memang demikian. Kebahagian tercurah total, dan tumpah ruah. Semua tokoh tokoh adat menyampaikan dari mulut mulut kabar yang sangat istimewa itu.

Kebahagian seakan tak terbendung. Terlebih mengetahui bahwa penyerahannya akan dilakukan langsung oleh Presiden Jokowi, kepada pimpinan masyarakat adat di Istana Negara.

Sungguh masih terbayang, bagaimana kegembiraan itu mereka rasakan. Dan itu suatu yang sangat wajar, mengingat perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat hukum adat, bukanlah waktu kemarin sore. Melainkan sudah sejak lama, dan turun temurun.

Ya. Ini kisah sekitar dua tahun nan silam. Cerita  baru dari Desa Tae yang kini warganya sudah menjadi Masyarakat Hukum Adat Ketemenggunan Tae, tengah berbenah membangun desa. Masa euporia sudah  berakhir, diganti dengan semangat baru. Karena, di balik pengakuan itu, ada beban dan tanggungajwab yang lebih besar, dan harus menjadi kenyataan.

Pak Melkianus Midi, Kepala Desa Tae usai menerima Surat Keputusan pengakuan hutan adat di Istana Negara, diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi.

Apa itu? Mengelola hutan adat Tae agar dapat terjaga, lestari namun mampu memberikan nilai tambah bagi perekonomian masyarakat di Desa Tae.

Dengan kekerabatan adatnya, masyarakat Desa Tae ditantang menggali berbagai potensi desanya sebagai sumber kehidupan yang jauh lebih sejahtera.

Terus didampingi dari Institut Dayakologi, kini perubahan ke arah itu kian tampak. Beberapa waktu lalu, saya sempatkan untuk bertandang kembali ke Desa Tae. Dan betapa bangga, tatkala memasuki perbatasan Desa Tae, telah berdiri tegak, pintu gerbang dalam arsitek dayak, bertuliskan ” Anda Memasuki Wilayah Adat dan Hutan Adat Ketemenggungan Tae”.

Sungguh hati berbunga senang. Terlebih lagi, saat memasuki wilayah desa. Sejumlah bangunan baru berdiri megah. Bahkan ada sejumlah warung yang menjual souvenir dan ole ole. Jelas  ini mengindikasikan, kini ada perputaran ekonomi baru di kalangan Masyarakat Hukum Ada ketemenggunan Tae.

Artinya, tidak lagi sebatas ekonomi durianm, seperti yang sempat saya dengar sebelumnya. Desa Tae, disebutkan, sebagai salah satu daerah sumber durian Kalimantan Barat dan di saat tibanya musim durian selalu menghiasi sudut sudut Kota Pontianak.

Dan benar, menurut penuturan warga setempat, kini  Desa  Tae, mulai banyak dikunjungi oleh masyarakat luar. Selain dari  kalangan pemerintahan, kabarnya,  juga dikunjungi dari perguruan tinggi, untuk melakukan penelitian. Bahkan, di saat dalam perjalanan menuju Desa Tae, saya sempat berpapasan dengan sejumlah kendaraan, ternyata  itu  rombongan studi banding dari teman-teman BPSKL Wilayah Sumatera.

Bersama masyarakat Desa Tae, sentral durian Kalimantan Barat

Tatakala bertandang ke Desa Tae, saya sempatkan bertemu dengan Pak  Camat Balai. Sembari berseloroh, Pak Camat berucap”  bahwa sekarang  kesibukan bertambah, karena adanya  hutan adat.”

Pada Maret – April 2019 lalu, sebuah perhelatan telah berlangsung di Masyarakat Hukum Adat Ketemanggungan Tae.  Musyawarah Besar – Mubes, Masyarakat Adat Komunitas Tiong Kandang, nama perhelatan itu.  Dan ini merupakan salah satu rangkaian acara ganjur, yakni upacara bayar niat. Kali ini fokusnya syukuran, atas dikantonginya sertifikat hutan adat dari pemerintah.

Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, bersama  Dirjen PSKL Bambang Soepriyanto, dan Gubernur Kalimantan Barat, pun sempat hadir.

Sejumlah tokoh pemimpin adat sempat berdialog dengan menteri dan pejabat lainnya.  Dalam dialognya itu, tersirat agar Kementerian  LHK dan Pemda Kalimantan Barat, ikut membantu agar bisa mempercepat pengembangan ekonomi desa dengan kegiatan yang berbasiskan sumberdaya alam yang ada di hutan adat Tae.

Menteri Siti Nurbaya merespon positif keinginan masyarakat adat tersebut. Karenanya, dalam  tahun anggaran 2019, melalui dana  stimulant disalurkan ke kelompok usaha perhutanan social(KUPS)—yang anggotanya, bagian  dari masyarakat hokum adat ketemenggungan Tae.

Desa Tae terdiri dari empat dusun yang meliputi delapan kampung, yakni Kampung Bangkan, Mak Ijing, Semangkar, Maet, Tae, Teradak, Peragong dan Padakng. Luas wilayah desa adalah 2.538,55 hektare dengan jumlah penduduk 1.616 jiwa. Desa Tae berada di Kecamatan Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Daud P Purba 
Pengendali Ekosistem Hutan Muda, BPSKL Wil Kalimantan