TROPIS.CO, JAKARTA – Pasca Bapak Presiden pertama kali mengumumkan dua orang warga Indonesia, seorang ibu dan anaknya di Jakarta, menderita positif corona, 2 Maret 2020, beragam perspektif muncul di mata publik bagaimana Indonesia ke depan menghadapi ancaman coronavirus disease 2019 (Covid-19). Tidak terkecuali dengan perubahan situasi dan kebiasaan-kebiasaan selama ini yang sering kita lakukan mengalami perubahan besar.
Dan seperti yang kita jalani hari ini, hampir semua kebiasaan dan aktivitas kita mengalami perubahan mendasar dan melakukan penyesuaian di tangah wabah pandemi Covid-19. Tidak terkecuali kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun nonpemerintah mengikuti anjuran work from home guna mumutus mata rantai penyebaran virus. Saya sendiri sejak pertengah Maret 2020, sudah melakukan “isolasi mandiri” beserta keluarga mengikuti anjuran work from home tersebut.
Maka, selama kurang lebih dua bulan terakhir ini, hampir semua wall media sosial kita dibanjiri dengan webinar online maupun meeting kantor. Pelatihan dan konferensi di lakukan secara daring untuk tetap menjaga perencanaan kegiatan terus berjalan di tengah pandemi Covid-19. Semangat dan motivasi kerja terus terjaga, kekompakan tim, maupun hanya sekedar korespondensi dan menanyakan kabar kawan di seberang sana.
Sejak akhir April kemarin sampai dengan minggu kedua Mei 2020, saya menerima ajakan bergabung dengan para tutor di seluruh Indonesia, dalam satu pelatihan bagi “Pendamping Perhutanan Sosial Pasca Izin”. Program yang digagas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Dimana, Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) bersama BP2SDM KLHK sebagai pelaksana.
Adapun pelaksanaan secara teknis, dikoordinasikan Balai Diklat LHK di tujuh wilayah, tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Saya bergabung bersama tim Widyaiswara (WI) di Balai Diklat Kehutanan Makassar, melayani pulau Sulawesi, Maluku dan Papua.
Pelatihan dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia dengan target peserta terlatih sebanyak 3.000 orang. Sampai Minggu ke-2 Mei 2020, sudah terlaksana 3 gelombang pelatihan di BDLHK. Masing-masing gelombang, ada yang 2-3 Angkatan dengan jumlah peserta bervariasi, 25 sampai 30 orang per angkatan.
Peserta latih, para pendamping yang telah mendapatkan Surat Keputusan, SK pendamping oleh Balai PSKL. Dan juga petani hutan yang telah mendapatkan izin sebagai anggota kelompok tani hutan atau KTH Perhutanan Sosial; baik dalam skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakat (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Kemitraan Kehutanan, maupun Hutan Adat (HA).
Pelatihan ini mengkombinasikan plat form online yang dimiliki oleh BP2SDM yang dapat di akses di http://elearning.menlhk.go.id/login/ dan “penugasan mandiri” yang dilaksanakan masing-masing peserta agar memenuhi aspek penilaian kelayakan kelulusan pelatihan.
Interaksi dan tatap muka antara “tutor”, peserta dan panitia penyelenggara, dilakukan melalui video conference dengan memanfaatkan “aplikasi zoom”., yang pada hari hari berikutnya, menjadi sangat familiar kita gunakan, gegara pandemic covid-19 ini.
Selama 4 hari pelatihan, peserta diberikan sejumlah topik bahasan mencakup; pengenalan mitigasi dan penanganan terhadap wabah covid-19, kebutuhan petani dalam pelaksanaan hutan social, panduan role model hutan sosial dan kemitraan lingkungan.
Kemudian, pendampingan tahap awal hutan social, pengelolaan dan pengembangan kawasan hutan dan lingkungan. Kerja sama tim atau anggota dan akses pendanaan serta strategi pasar. Terakhir, monitoring dan evaluasi pelaksanaan hutan sosial.
Semua pokok bahasan berintikan; bagimana peserta menerapkan tiga aspek pengelolaan hutan sosial ; kelola kawasan, kelola social atau kelembagaan, dan kelola usaha.
Pada awalnya, saya ada keraguan dengan pelaksanaan pelatihan ini,mengingat peserta datang dari berbagai pelosok dengan berbagai keterbatasan. Terutama, masalah jaringan telekomunikasi dan koneksi internet yang tidak stabil.
Belum lagi soal para “tutor” dan peserta, mesti harus belajar untuk terhubung dan terbiasa memanfaatkan laman e-learning BP2SDM di http://elearning.menlhk.go.id/login/ agar bisa mendapatkan akses modul pembelajaran, persentase materi pelatihan, video atau dokumentasi film yang berkaitan dengan mata pelatihan, interakasi melalui forum diskusi, maupun meng-upload tugas mandiri pada masing-masing mata pelatihan yang disampaikan. Alhasil beragam pertanyaan bermunculan, selama berlangsungnya pelatihan.
“Pak bagaimana caranya mendaftar di e-learning itu?”
“Pak apakah tugas saya sudah terkirim di e-learning?”
“Jaringan kurang bagus bu, saya tidak bisa mendengar jelas, terputus-putus”
“Kenapa ini ada suara tidak ada gambarnya”
“Tolong para peserta, speaker-nya di-mute…”
Ini sebagian pertanyaan yang terlontar spontan saat berlangsungnya pelatihan. Tentu masih banyak lagi “celoteh” para partisipan selama video conferences berlangsung.
Harus kita ajkui masih ada kekurangan itu. Namun yang pasti adalah KLHK telah mengambil inisiatif cerdas, demi terus menjaga konsolidasi semua pihak atau actor, dalam perwujudan dan pelaksanaan program Perhutanan Sosial ini.
Selain memang program pelatihan, e-learning ini dimaksukdkan meningkatkan kapasitas para pedamping dan petani hutan social, dalam melaksanakan program di tingkat tapak di tengah keterbatasan sebagai dampak pandemic covid-19.
Memang 4 hari berlangsungnya pelatihan ini, tidak bisa menjawab semua ekpektasi para pendamping maupun petani hutan di tingkat tapak secara keseluruhan. Namun paling tidak, bagi saya e-learning ini, telah menginspirasi, bagaimana melakukan updating terhadap situasi yang sedang dialami pendamping dan petani, dalam pengelolaan hutan social, di tengah pandemi Covid-19.
Terutama dalam hal, bagaimana kesehatan mereka dan keadaan ekonomi para petani hutan yang terdampak. Bersikap dan bertindak, saat mendengar keluh kesah mereka yang tidak bisa lagi menjual hasil hutannya, karena ruang gerak terbatas, gegara Covid-19. Dan juga peran yang dimainkan pendamping, dalam memotret pelaksanaan hutan sosial di lapangan.
Interaksi ini, tentu menjadi suatu jawaban atas mandat (baca izin) yang dipercayakan kepada masyarakat dalam mengelola kawasan hutan sehingga pengelolaan hutan lestari dan masyarakat sejahtera dapat terwujud.
Tidak sebatas itu, kegiatan ini akan menjadi masukan berharga bagi Kementerian LHK, dalam upaya perbaikan ke depan.
Sisi positifnya, peserta dapat menanyakan, meminta dukungan, bahkan juga berkeluh kesah, terhadap berbagai persoalan yang dihadapi di tingkat tapak. Dan apa yang disampaikan ini, bisa langsung ditanggapi oleh pejabat yang berwenang di Kementerian LHK.
Sebagai contoh, apa yang disampaikan Tamrin saat pembukaan pelatihan gelombang III, 12 Mei lalu. Dalam acara yang berlangsung di Balai Diklat LHK Makasar itu, Ketua kelompok Hutan Kemasyarakatan Buhung Lali di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan ini, mempersoalkan kegiatan jasa wisata yang sudah mereka kelola mau diambil alih Pemerintah Desa. Padahal dana pengelolaan awalnya, berasal dari dana swadaya anggota.
Persoalannya bukan sebatas itu. Ada khawatiran anggota kelompok, bahwa pengelolaan jasa wisata itu tidak akan berkesinambungan. Ini mengingat, masih kurangnya tingkat pemahaman aparatur pedesaan terhadap pelaksanaan program perhutanan sosial di lapangan.
Ironisnya, apa yang dikhawatirkan kelompok ini, seakan kurang mendapat respon dari KPH, Kesatuan Pengelolaan Hutan. Justru sebaliknya, ada kesan KPH menghalangi pembangunan wisata yang diinisiasi kelompok.
Nah, keluhan itu langsung direspon oleh Sekditjen PSKL. Beliau, Pak Sekditjen, memberikan arahan sekaligus menegaskan, bahwa izin Perhutanan Sosial diberikan kepada masyarakat selama 35 tahun. Anggota masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani hutan, diberikan hak untuk memanfaatkan dan mengelola potensi yang ada di dalam lokasi izinnya. Termasuk juga, pengembangan potensi jasa lingkungan melalui wisata alam.
Selama kurang lebih tiga minggu bertemu virtual dengan seluruh partisipan pelatihan pendamping perhutanan sosial pasca izin, telah memberikan gambaran, masih banyak “PR” yang harus kita selesaikan dalam mengawal pelaksaaan program perhutanan sosial di tingkat tapak.
Dalam pertemuan virtual itu, saya mencatat ada sejumlah “PR” yang harus segera mendapat perhatian dan penyelesaian. Pertama, penyelesaian tata batas perizinan hutan social. Nah ini, tersirat, sebagian besar belum dilakukan oleh pemegang izin.
Berikutnya, pentingnya peningkatan kapasitas petani dan pendamping. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan, hingga menyebabkan pengelolaan potensi sumberdaya hutan termasuk jasa wisata, kurang optimal. Kurangnya informasi terkait akses permodalan maupun pasar bagi produk perhutanan sosial.
Padahal informasi akses sangat penting bagi anggota kelompok. Terlebih dalam mendapatkan bantuan dalam pengembangan usaha. Seperti kolaborasi semua pihak dalam mensukseskan Perhutanan Sosial sebagai salah satu program prioritas nasional. Mengingat eksistensi program ini yang diyakini mampu menjawab banyak persoalan di tingkat tapak.
Dan persoalan itu, mencakup penguatan struktur ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan, sehingga mereka lebih sejahtera. Penyelesaian konflik tenurial, hingga jawaban atas keluhan masyarakat terkait reforma agraria.
E-learning ini merupakan inovasi KLHK di tengah kondisi keterbatasan, yang mampu menjembatani komunikasi antara level tapak langsung ke pengambil kebijakan. Tegasnya, dari petani langsung ke Dirjen dan pemangku kebijakan lainnya.
Satu hal yang patut dicatat, khususnya untuk kita di lapangan, adalah pesan Kepala Badan Penyuluhan dan SDM, Bapak Helmi Basalama. Saat penutupan pelatihan Gelombang III di Balai Ditlak LHK Makasar, Kepala Badan, menegaskan, bahwa ”kita memang bukan superman tetapi kita adalah supertim yang dapat mewujudkan kontribusi besar perhutanan sosial terhadap peningkatan perekonomian nasional”.
Awaluddin
Aktivis Sulawesi Community Foundation (SCF) dan Anggota Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2020