Perhutanan Sosial, Tantangan Pasca Covid-19

Kebersamaan pemahaman antara pendamping dengan anggota kelompok tani hutan, kunci kesuksesan dalam pengembangan Perhutanan Sosial. Foto: Istimewa
Kebersamaan pemahaman antara pendamping dengan anggota kelompok tani hutan, kunci kesuksesan dalam pengembangan Perhutanan Sosial. Foto: Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA- Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada  sekitar 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan. Artinya ada sekitar 9,2 juta rumah tangga bergantung pada eksistensi hutan.

Berdasar PermenLHK Nomor P.83/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/10/2016, Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan di kawasan hutan negara atau hutan hak/adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.

Perhutanan sosial (PS) diusung sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang umumnya merupakan masyarakat miskin dan bermatapencaharian terbatas. Secara faktual, PS merupakan bentuk pengelolaan areal hutan dikelola masyarakat melalui pola pola pengelolaan hutan lestari untuk memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat pengelola/pemanfaat dengan memperhatikan kelestarian ekologi.

Kewenangan pemberian ijin PS oleh negara kepada masyarakat  terdiri dari lima skema yakni Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat HTR), Kemitraan Kehutanan (KK) dan Hutan Adat (HA).

HD adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa yang pengelolaannya diserahkan kepada lembaga desa. HKm adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya untuk memberdayakan masyarakat, pengelolaannya diserahkan kepada kelompok atau gabungan kelompok masyarakat.

Sedangkan ijin pemanfaatan kayu pada HTR, diberikan kepada kelompok masyarakat atau individu dengan menerapkan teknik budidaya tanaman sesuai tapak untuk menjamin kelestarian sumberdaya hutan.

Untuk lokasi Jawa, dimana sebagian besar wilayahnya  berada dalam pemangkuan Hutan Perum Perhutani terdiri dari dua skema yakni KK yang dikukuhkan melalui surat Kulin KK  (Pengukuhan dan perlindungan Kemitran Kehutanan) dan IPHPS (Izin Pemanfaatan Hasil Perhutanan Sosial).

Pengaturan ketentuan skema ini diatur dalam Permen Nomor P.39/MENLHK/SETJE/KUM.1/2017 tentang Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Sementara di luar areal pemangkuan Perhutani diberlakukan sesuai dengan ketentuan Permen P.83 tahun 2016.

Target pemberian ijin perhutanan sosial telah dicanangkan pemerintah seluas 12,7 hektare (10 persen) kawasan hutan telah dicadangkan untuk kebutuhan Perhutanan Sosial.

Kegiatan penerbitan ijin pemanfaatan untuk perhutanan sosial ini didukung oleh tim penggerak percepatan perhutanan sosial (TP2PS), berperan dalam mempercepat proses verifikasi teknis dalam pengurusan ijin dimaksud.

 

Andi R Kurniadi, Perhutanan sosial diusung sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang umumnya merupakan masyarakat miskin dan bermatapencaharian terbatas.

Sementara di tingkat propinsi telah dibentuk kelompok kerja propinsi yang berasal dari multi stakeholder berdasar SK Gubernur, untuk mengawal proses usulan hingga keluarnya surat ijin perhutanan sosial. Berdasarkan update per April 2020 telah diterbitkan izin Perhutanan Sosial sebanyak  6.548 unit SK, total luas sekitar 4.105.268,03 hektare, meliputi 837.134 KK.

Selama masa PSBB, Ditjen PSKL KLHK bersama Pusdiklat dan Balai Diklat kehutanan  seluruh Indonesia secara pararel tengah menyelenggarakan penguatan kapasitas bagi hampir 3000 peserta yang berasal dari petani dan pendamping perhutanan sosial melalui pembelajaran jarak jauh (e-learning).

Tantangan selanjutnya adalah proses pendampingan kelompok paska ijin. Problematika yang dihadapi dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah gap jumlah pendamping  dibandingkan luasan areal dan jumlah kelompok yang perlu didampingi.

Ke depan, kegiatan paca izin ini akan menghadapi tantangan lain terkait optimalisasi pemanfaatan hasil hutan oleh pemegang izin. Karenanya proses penguatan kapasitas bagi masyarakat dan pendamping paska e-learning masih menjadi tantangan tersendiri bagi para pihak yang concern dengan isu Perhutanan Sosial.

Apa strategi efektif yang perlu dibangun dalam penguatan kapasitas  kelembagaan Perhutanan Sosial? bagaimana strategi pengembangan model usaha? Bagaimana pula dengan daya saing usaha Hasil hutan kayu dan bukan kayu? juga keterjaminan konsitensi produk? Kita tunggu gebrakan lebih lanjut dari para pegiat Perhutanan Sosial Indonesia pasca Covid-19.

Andi R. Kurniadi
Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial