Menghapus Stigma Masyarakat di Pinggir Hutan Gaptek

Menghapus stigma masyarakat di pinggir hutan gagap teknologi. Foto: Istimewa
Menghapus stigma masyarakat di pinggir hutan gagap teknologi. Foto: Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Keberadaan Tim yang solid di tiap wilayah sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang bermanfaat luar biasa bagi para peserta saat selesai mengikuti pelatihan.

Salah satu hal yang terpenting didalam suksesnya kegiatan pembelajaran daring ini adalah ketersediaan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan membelajarkan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran orang dewasa.  Dan juga para narasumber yang mempunyai pengalaman fasilitasi lapangan dan kerja-kerja kongkrit Perhutanan Sosial.

Karena proses ini lebih difokuskan bagi pengembangan sumberdaya manusia yang akan berperan penting didalam tatalaksana pengelolaan PS di lapangan baik sebagai pengelola kelembagaan ekonomi, pengelolaan kawasan, ekowisata, pengamanan, pengembangan produk, pemasar, dan lainnya.

Sehingga sangat penting bagi yang terlibat didalam proses pembelajaran memahami  berbagai aspek yang berhubungan dengan berbagai teknik untuk membantu para peserta belajar menemukan sendiri tindak lanjut yang akan dilakukan dilapangan setelah pelatihan.

Proses penemuan diri ini sangat penting agar peserta juga memahami bagaimana cara penemuan ini, bagaimana mengaplikasikan dilapangan, bagaimana mengukur keberhasilannya, bagaimana menetukan waktu pencapaiannya, siapa saja yang akan terlibat, dukungan apasaja yang dibutuhkan dan lainnya.

Karena didalam proses pembelajaran seperti ini ada kredo yang sangat dikenal yaitu “Saya mendengar, maka saya lupa. Saya melihat, maka saya ingat. Saya melakukan, dan saya mengerti”.

Proses partisipasi aktif peserta didalam pembelajaran ini sangat terlihat selama 3 Gelombang pelatihan, karena Tim sudah menemukenali dan mampu menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif. Hal ini dibuktikan dengan;

  1. a) Adanya komitmen dan kedisiplinan peserta. Baik berhubungan dengan waktu mulai pembelajaran, penyerahan penugasan belajar mandiri, evaluasi, ujian dan lainya yang mempunyai Batasan waktu. Namun para peserta berusaha sekuat tenaga dan upaya maksimal untuk bisa memenuhi hal tersebut,
  2. b) Terbangunnya hubungan antara para narsumber, widya iswara, tutor dan peserta yang akrab, terbuka, terarah, saling menghargai, saling membantu dan saling belajar, dan
  3. c) Berjalannya proses pembelajaran yang setara. Dimana para pengajar juga bisa mendapatkan ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman peserta dan juga peserta dapat menyerap pengetahuan, keahlian dan pengalaman pengajar.

Dari proses fasilitasi pembelajaran selama tiga gelombang ini, Saya mendapatkan pengalaman berharga didalam membangun tim kerja yang solid berbasis komunikasi daring, WAG dan kontak telepon.

Dibawah koordinasi Kepala Balai Diklat LHK Pekanbaru, Tim dikoordinasikan untuk membahas detail paska keluarnya jadwal. Kususnya antar para pengisi mata pembelajaran (MP), masing-masing tim MP mendiskusikan materi, strategi penyampaian, pembagian peran didalam proses pembelajaran (fasilitator, penyampai pembelajaran, pembuat catatan akhir dan kompilasi hasil penugasan serta pertanyaan dan isyu yang muncul di LMS terkait materi) dan bagaimana proses penilaian.

Dengan pembagian peran yang jelas Tim menjadi lebih fokus dan juga bisa maksimal didalam menjalankan perannya. Paska pembelajaran, Tim MP melakukan diskusi untuk membahas umpan balik peserta terkait dengan proses pembelajaran, sehingga pada periode berikutnya Tim akan melakukan perbaikan metode pembelajaran berdasarkan hasil refleksi yang disampaikan peserta ajar.

Kunci utama dari proses “solidnya” Tim adalah kesadaran bahwa ini tugas mulia, niat yang tulus untuk berbagi pengetahuan kepada peserta ajar, saling respek dan menerima kekurangan dan kelebihan anggota Tim, empati terhadap peserta ajar, berpandangan positif serta percaya penuh akan potensi peserta ajar untuk bisa berkembang didalam proses pembelajaran.

Dengan terinternalisasikannya hal-hal tersebut maka hubungan antar sesama narasumber, widya iswara, tutor dan panita akan berjalan dengan harmonis dan punya tekad bersama agar pelatihan ini bermanfaat.

Sehingga saat pembelajaran paranara sumber, widya iswara dan tutor tidak akan mempermasalahkan saat dalam proses belajar tiba-tiba ada anak atau cucu peserta menangis minta susu atau bahkan ikut mengambil kertas dan pena untuk menggambar saat Ayah atau Ibunya sedang mencatat poin penting pembelajaran.

Atau juga saat peserta belajar didalam kendaraan, ditengah kebun, ditengah hutan bahkan ada yang dipuncak bukit demi mendapatkan sinyal. Bahkan ada peserta yang harus menempuh perjalanan sampai tujuh puluh kilo meter melalui jalan tanah liat yang becek dan penuh longsoran, atau berbagai Laptop dan handpone untuk mengikuti pembelajaran serta mengirimkan tugas-tugas.

Para pengejar juga sangat maklum ketika sedang bertanya tiba-tiba peserta tidak muncul dimuka laptop karena listrik mati atau sinyal hilang, atau penugasan yang terlambat diberikan karena kondisi listrik dan sinyal. Pemakluman ini sangat penting karena memang infrastruktur komunikasi di Indonesia masih belum semuanya baik. Sehingga dengan toleransi ini kita juga menghormati semangat dan kesungguhan peserta.

Pada akhirnya, model pelatihan seperti ini bisa menjadi alternatif pelatihan mendatang yang diselenggarakan oleh KLHK. Selain bisa menjangkau masyarakat sampai diseluruh sudut nusantara, juga bisa menjadi model belajar langsung jarak jauh untuk mengatasi persoalan-persoalan lapangan.

Sehingga saat ada persoalan lapangan yang mendesak bisa disampaikan dan dibahas langsung, tanpa harus menunggu persoalan menjadi besar. Juga untuk menjadi kanal komunikasi bagi peraturan-peraturan dan kebijakan baru di KLHK agar bias sampai dan dipahami masyarakat dilevel tapak. Metode ini bisa menjadi alat monev atas pelaksanaan Perhutanan Sosial dilapangan secara periodik.

Terlepas dari kendala teknis, pelaksanaan kegiatan pelatihan daring selama 3 priode ini juga mampu menghapus stigma kalau masyarakat yang hidup didalam dan sekitar kawasan hutan, dengan pendidikan yang mayoritas rendah, petani miskin, gagap teknologi, dan lainnya tidak akan mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi pupus sudah.

Terbukti para peserta mampu berpartisipasi maksimal didalam proses pembelajaran, dengan segala usaha dan kerja kerasnya serta fasilitasi dari para pendamping. Ini menjadi wujud nyata bahwa selagi diberikan peluang, dukungan dan penghargaan para petani perhutanan sosial bisa maju dengan pembelajaran alam maya.

Sebuah Catatan Kecil Proses Pembelajaran dari Tiga Gelombang (3)

Rakhmat Hidayat 
Anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial/TP2PS dan POKJA PPS Nasional