Periode Pertama Tahun ini, Karhutla Lebih Banyak di Dalam Kawasan Hutan

Direktur Kebakaran Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Basar Manulang menyatakan, dda indikasi kuat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di dalam kawasan pada musim kemarau tahun ini bakal lebih luas ketimbang di luar kawasan dan sebagian besar kawasan gambut. Foto: TROPIS.CO/Andeska
Direktur Kebakaran Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Basar Manulang menyatakan, dda indikasi kuat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di dalam kawasan pada musim kemarau tahun ini bakal lebih luas ketimbang di luar kawasan dan sebagian besar kawasan gambut. Foto: TROPIS.CO/Andeska

TROPIS.CO, JAKARTA – Ada indikasi kuat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di dalam kawasan pada musim kemarau tahun ini bakal lebih luas ketimbang di luar kawasan dan sebagian besar kawasan gambut.

Kendati masih jauh di bawah tahun lalu, tingkat kebakaran hutan dan lahan, pada priode Januari hingga pekan pertama Mei sudah mencapai seluas 8.254 hektare, tersebar di wilayah rawan Karhutla, termasuk Papua dan Papua Barat.

Pada tahun lalu,  periode Januari hingga Maret, berdasarkan interpretasi citra satelit Landsat-8, angka luasan Karhutla mencapai 26.113 hektare.

Terluas di lahan gambut mencapai 17.529 hektare, dan sisanya 8.585 hektare di lahan mineral.

Baca juga: Industri Sawit Kokoh Menopang Ekonomi Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19

Tahun ini, merujuk analisis citra satelit Landsat-8, dari 8.254 hektare, areal yang terindikasi karhutla, 6.167 hektare atau sekitar 74,9 persen merupakan kawasan hutan dan 89,7 persen diantaranya adalah gambut.

“Secara keseluruhan dari 8.254 hektare  areal yang terkena karhutla itu,  4.551 hektar di kawasan gambut, dan 3.704 hektare di lahan mineral,” jelas Direktur Kebakaran Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Basar Manulang di Jakarta, Sabtu (9/5/2020).

Sayang,  Basar tak merinci dari 4.551 hektare Karhutla di lahan gambut itu, berapa luas  gambut yang berada di luar kawasan.

Namun untuk Karhutla di luar kawasan disebutkannya seluas 2.068 hektare.

Tanpa merinci detail, apakah dari luas tersebut, ada areal konsesi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) yang ikut terbakar.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Karliansyah mengatakan bahwa kalangan pemegang konsesi, perkebunan kelapa sawit dan HTI kini jauh lebih siap menghadapi musim kering tahun ini.

Sebagai indikasinya, Karliansyah menyebut, bahwa kalangan perusahaa telah melakukan pemulihan ekosistem gambut dan sudah menetapkan titik pemantauan tinggi muka tanahnya, serta telah menjaga tinggi muka air tanah dengan membangun infrastruktur pembasahan.

Kemudian mengukur tinggi muka air tanah secara rutin setiap dua minggu sekali serta melaporkan hasil pengukuran ke KLHK.

“Dalam mengantisipasi kebakaran dan menghadapi musim kemarau  tahun ini, kita telah mengirimkan Surat Edaran Menteri LHK Nomor SE.2 Tahun 2020 Tentang Antisipasi Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2020,” tutur Karliansyah.

Selain mengirimkan surat edaran, KLHK juga melakukan pemantauan kinerja tata kelola air dari data tinggi muka air tanah pada titik pemantauan di lahan konsesi dari masing-masing perusahaan.

Dari sistem pemantauan yang dibangun dapat dihitung tinggi muka air rata-rata pada Kuartal I Tahun 2020 adalah -0,46 meter.

Sebanyak 765 Titik

Lantas Basar Manulang menjelaskan, jika melihat hasil analisis titik panas  atau hotspot yang dipantau Satelit Terra/Aqua (NASA) Conf,  pada periode 1 Januari hingga 7 Mei kemarin,  khususnya yang berada pada  Level ≥80 persen, ada sebanyak 765 titik.

“Memang jauh lebih rendah ketimbang priode yang sama tahun lalu, yang mencapai 1.222 titik.”

“Ini berarti pada periode pertama tahun ini menunjukan penurunan jumlah hotspot sebanyak 457 titik atau sebanyak 37,40 persen.”

“Sebarannya, d ibeberapa  ada  di wilayah yang rawan Karhutla seperti Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Papua, serta Papua Barat,” ungkap Basar manulang.

Basar mengindikasikan bahwa Karhutla ini terjadi disebabkan oleh aktivitas manusia.

Kuat dugaan sebagian besar dikarenakan pembukaan atau penyiapan lahan untuk berbagai keperluan seperti untuk perkebunan, pertanian atau pemukiman, dan berbagai keperluan lainnya.

Bukankah kini masih masuk musim penghujan sehingga kawasan gambut dan lahan mineral masih dalam kondisi basah yang cukup tinggi maka semestinya Karhutla di lahan gambut tak harus terjadi?

Merespon ini,  Basar menjelaskan, kondisi iklim di Indonesia tidak merata dan sama untuk seluruh wilayah karena sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor pengendali.

Menurut analisis BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), kata dia, awal musim kemarau 2020 di Indonesia dimulai bervariasi, sebanyak 19,3 persen daerah zona musim diprediksi akan memasuki musim kemarau lebih awal, sedangkan sekitar 37,4 persen zona musim masih sama seperti biasa.

Baca juga: Ternyata Sawit pun sebagai Penangkal Corona

Sebanyak 43,3 persen zona musim, lebih lambat dari biasanya serta sebanyak 30 persen zona musim diprediksi mengalami kemarau lebih kering dari normalnya.

“Selain itu, beberapa wilayah di Indonesia antara lain, Riau, Sumut, Aceh, dan Kalimantan Barat mempunyai karakteristik rata-rata memiliki musim kemarau dua kali dalam setahun.”

“Periode pertama pada Februari sampai  Maret dan periode kedua pada Juli sampai September bahkan hingga Oktober.”

“Kondisi yang dialami di beberapa wilayah tersebut cukup kering dan rentan terjadi karhutla pada periode tersebut,” pungkas Basar Manulang. (Trop 01)