TROPIS.CO, JAKARTA – Pandemi Covid-19 kian membuka tabir atas eksistensi perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Masyarakat dunia harus jujur mengakui bahwa sawit memiliki sejuta manfaat, termasuk menghambat lajunya penyebaran virus corona.
Melakui proses pirolisi, cangkang sawit bisa menghasilkan asap cair yang mengandung senyawa asam karbosilat atau asam asrer dan karbonil, senyawa antiseptik sebagai bahan baku disinfektan.
Tak salah kalau kelapa sawit kita sebut, tanaman sejuta manfaat.
Dari cangkangnya saja, bila selama ini, cenderung dikategorikan limbah, kini cangkang sawit telah menjadi limbah komersil bernilai ekonomi tinggi.
Sudah jangan kita ceritakan yang lainnya. Ini saja, bahwa cangkang sawit bisa dikembangkan menjadi penanggkal corona virus disease 2019 atau Covid-19.
Tak percaya, coba dalami artikel yang sempat ditulis Fauziati dalam jurnal Riset Teknologi dan Industri.
Memang ini bukan temuan baru, sudah sekitar 8 tahun nan silam. Peneliti dari Balai Riset dan Standardisasi Industri Samarinda, melakukan penelitiannya, memasuki pertengahan 2012 – yang kemudian ditulisnya dalam jurnal Riset Teknologi dan Industri Volume 6, Desember 2012.
Mungkin sudah ada yang tahu. Tapi juga, mungkin masih banyak yang enggak tahu. Cangkang sawit jauh sebelumnya, dibuang begitu saja, menjadi limbah.
Terkadang digunakan hanya untuk menutupi jalan berlumpur menuju pabrik.
Kini ternyata memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, karena bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku industri kesehatan.
Memang, dalam beberapa tahun belakangan ini, disaat energy fosil kian berkurang, kerusakan lingkungan semakin parah. Suhu global bertambah panas, hingga mengakibatkan ozon kian menipis.
Tuntutan masyarakat global terhadap pencegahan terjadinya percepatan perubahan iklim pun, kian meninggi.
Lalu semua mendesak agar pelaku industri global, menggunakan sumber energi alternatif.
Artinya energi fosil harus segera ditinggalkan. Ganti dengan sumber energi bisa diperbaharui dan sustainable. Sangat ramah terhadap lingkungan hidup.
Cangkang sawit adalah salah satunya. Selain minyaknya yang masih berupa minyak kasar atau lazim disebut crude palm oil (CPO).
Minyak sawit sumber energy yang sangat kompetitif, bila dikembangkan menjadi biodesel dan harganya jauh lebih rendah ketimbang minyak fosil.
Terlebih dibanding minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak matahari, hasil produksi petani di kawasan Amerika dan Eropa.
Karenanya, di sejumlah pabrik pengolahan sawit (PKS) mulai melakukan diversifikasi bahan bakar.
Bila sebelumnya menggunakan bahan bakar minyak (BBM)yang cenderung berbiaya tinggi, sehingga mengakibatkan harga hasil produksinya berupa CPO tak kompetitif, di saat permintaan pasar dunia lagi lesu darah, dan mereka kemudian memanfaatkan cangkang sawit yang sebelumnya memang menggunung di pekarangan pabrik.
Jadi tak usah heran, bila belakangan banyak yang berburu cangkang sawit.
Cangkang yang sebelumnya limbah tak bernilai, kemudian dihargai dalam kisaran Rp200 hingga Rp300 per kilogram.
Kini, kabarnya, harga cangkang sawit sudah jauh di atas itu.
Itupun dengan catatan, bila ada manajemen PKS yang mau menjual.
Sebab umumnya, mereka digunakan sendiri, dan itupun terkadang mereka masih sangat kurang sehingga harus membeli dari pabrik pengolahan kelapa sawit lainnya – mungkin mereka berlebih. Namun itu sangat jarang sekali, hingga kini cangkang sawit menjadi langka.
Namun kini, disaat pandemi Covid-19, memporak porandakan kesehatan masyarakat, dan ekonomi global, temuan Fauziati, bahwa cangkang sawit sangat potensial dikembangkan sumber bahan baku disinfektan, tentu ini akan memberikan nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi terhadap cangkang sawit.
Dalam jurnal Riset Teknologi Industri itu, Fauziati menulis bahwa telah melakukan penelitian penggunaan cuka kayu dari cangkang kelapa sawit sebagai antiseptik pembersih tangan.
“Asap cair dari proses destilasi kering cangkang sawit pada suhu 200-3000 derajat Celsius, memiliki hasil 9,03 persen dan pH rata-rata 3,8,” tulisnya.
Dari analisis konstituen kimia dan suhu distilasi yang berbeda, lanjutnya, menghasilkan senyawa yang berbeda dan dapat dikelompokkan dalam alkohol kelompok, fenol dan asam asetat.
Hanya memang, bila perlakuan suling pada suhu 80 -160 derajat Celsius, berdasarkan hasil analisis, asap cair sebagai pencuci tangan antiseptik untuk semua perlakuan, ini tidak akan memiliki kekuatan penghambatan E. coli terhadap bakteri, salmonella, dan staphilococus aureus.
Beda dengan distilasi pada 160-1800C dalam rasio asap cair dan alkohol 40 bernading 60.
Ini akan memiliki kemampuan daya rata-rata 8, masuk kategori sedang. Artinya, masih memiliki kekuatan untuk menghambat berkembangnya bakteri Staphilococus aureus.
Kemudian, suling pada suhu 180-2000 derajat Celsius, memiliki kemampuan rata-rata daya resistor 8 (kategori sedang) dari jenis bakteri salmonella.
Sama halnya bila pemurnian sedimentasi dan penyaringan dengan perbandingan asap cair: alkohol (50:50). Ini memiliki kemampuan untuk rata-rata resistor daya 8, kategori sedang terhadap strain bakteri staphilococus aureus dan perbandingan asap cair dan alhohol (60:40) memiliki kemampuan rata-rata resistor daya 7, juga masuk kategori sedang, terhadap bakteri ke staphilococus.aureus.
Asap cair asli tanpa pemurnian, perlakuan penghambatan terhadap bakteri memiliki kemampuan kategori tinggi dengan rata-rata 16,5 pada bakteri E. coli . Begitupun terhasdap bakteri salmonella dan bakteri stapohilococusd.aureus. Kendati kemampuan penghambatannya sedikit lebih rendah ketimbang bakteri E.coli, pada kisaran rata rata 13 dan 10,5. Namun ini oleh Fauziati masih dikategorikan tinggi.
Mengungkap hasil penelitian Fauziati, setidaknya ini akan kian membuka tabir “kebodohan” banyak pihak yang selama ini menuding kelapa sawit merusak lingkungan. Tanaman yang disebut biangkerok atas meningkatnya suhu global karena pembukaan kawasan hutan, mengakibatkan terjadinya percepatan perubahan iklim.
Sejatinya, menilai eksistensi perkebunan kelapa sawit, tidak hanya dari aspek lingkungan. Namun hendaknya dari sejuta manfaat tanaman kelapa sawit. Dan harus diakui semua lapisan menikmati keberadaan kelapa sawit.
Tukang sapu jalanan pun merasakan nilai lebih dari kelapa sawit. Ya..ialah, itu sih jangan disebut. Sembari menyapu jalan, sembari istirahat sejenak, ada tukang gorengan lewat. Beli dulu gorengan. Bukankah minyak goreng yang dipakai itu, minyak sawit.
Namun tidak sebatas itu. Mungkin banyak yang tak mengetahui, bahwa sapu yang digunakan “pasukan orange” itu, ada yang menggunakan lidi dari kelapa sawit. Nah, itu contoh manfaat sawit di kalangan masyarakat lapisan bawah – maaf inipun bila diperkenankan, saya menggolongkan profesi pekerjaan penyapu jalan, pada lapisan itu.
Dari kalangan lapisan profesi atas. Wah, inipun juga banyak yang menikmati keberadaan kelapa sawit.
Mungkin tak perlu disebut lebih panjang. Semua tahu, hanya terkadang pura pura tak tahu, karena telah berhutang pada pihak asing.
Atau menjadi antek produk luar negeri yang ingin menghancurkan produk sawit dimana Indonesia sebagai negara produsen terbesar dunia.
Minyak kelapa sawit (CPO) saat ini adalah sumber minyak nabati terbesar di dunia, kata Tungkot Sipayung, seorang pakar kelapa sawit.
Indonesia, lanjutnya, merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi 51,8 juta ton pada tahun 2019.
Seiring dengan semakin meningkatnya produksi dan permintaan pasar untuk produk minyak sawit dan minyak inti sawit, pabrik kelapa sawit juga menghasilkan limbah yang semakin banyak.
Ada limbah padat, cair dan gas.
Adalah limbah padat yang paling banyak. Ini dalam kisaran 35 hingga 40 persen dari total TBS.
Dan berupa tandan buah kosong (TBK) serat dan cangkang sawit.
Nah, bila limbah limbah ini tidak tertangani dengan baik, ini tentu sangat beresiko karena bakal mencemari lingkungan sehingga tak salah, kalau Tungkot menyebut, dibutuhkan treatment yang tepat untuk menangani limbah tersebut, sekaligus menciptakan produk inovatif bernilai ekonomi tinggi.
Cangkang sawit, disebutkan salah satu limbah padat sawit yang jumlahnya mencapai 6-7persen atau sekitar 144 kilogram dari setiap ton TBS yang diolah.
Seperti halnya minyak sawit yang memiliki banyak manfaat, pengolahan cangkang sawit juga memiliki potensi produk yang bernilai ekonomi tinggi.
Selama ini telah dikenal pemanfaatan cangkang sawit sebagai sumber energi seperti biogas/biolistrik.
Pengolahan cangkang sawit menjadi asap cair, juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri.
Itu tadi, seperti hasil penelitian Fauziati dari Riset Teknologi Industri Samarinda, bahwa asap cair dari cangkang sawit ini mengandung senyawa asam karboksilat atau asam asrer, phenol, dan karbonil merupakan bahan antiseptik yang dapat digunakan untuk bahan baku disinfektan.
Penggunaan asap cair ini dapat mengurangi penggunaan senyawa kimia seperti triclosan/iragasan yang selama ini banyak digunakan pada berbagai produk antiseptik di pasaran.
Penggunaan asap cair yang dicampurkan alkohol dengan perbandingan 40:60, terbukti memberikan daya hambat kategori kuat pertumbuhan bakteri seperti Stapholoccous aureus, E.colli dan Salmonella. (Usmandie A Andeska)