Omnibus Law Percepat Investasi Berbasis Kelestarian Lingkungan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan Sekretaris Jenderal LHK Bambang Hendroyono sosialisasikan RUU Omnibus Law Cipta Kerja Lingkugan Hidup dan Kehutanan. Foto: KLHK
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan Sekretaris Jenderal LHK Bambang Hendroyono sosialisasikan RUU Omnibus Law Cipta Kerja Lingkugan Hidup dan Kehutanan. Foto: KLHK

TROPIS.CO, YOGYAKARTA – Penyesuaian perizinan bidang lingkungan hidup dan kehutanan yang dikemas dalam RUU Omnibus Law diorientasikan mempercepat pertumbuhan investasi yang berbasiskan lingkungan lestari, sekaligus menjadi harapan baru dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono mengatakan itu dalam Media Gathering di Yogyakarta, Sabtu (30/2/2020).

Menteri Siti Nurbaya hadir memberikan pengantar dalam kegiatan yang diikuti para wartawan terbitan pusat dan daerah itu dan sejumlah pejabat Kementerian LHK pun hadir.

Menurut Bambang, konsekuensi dari peningkatan investasi berbasis kelestarian lingkugan hidup, berbagai kebijakan yang mengharuskan pencegahan kerusakan lingkungan, tetap dipertahankan, namun disederhanakan serta dikemas dalam satu perizinan yang disebut izin berusaha.

Baca juga: RUU Omnibus Law Kurangi Obesitas Regulasi

Misalnya, keharusan adanya ijin lingkungan, pada prinsipnya kewajiban mereka, untuk mengikuti ketentuan lingkungan lestari, tetap ada, tidak dihilangkan.

Hanya apa saja yang harus mereka lakukan dan patuhi itu dituangkan sebagai poin-poin dalam izin berusaha, tidak lagi berdiri sendiri.

Demikian pula dengan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), tetap harus dipenuhi bagi investor yang akan berinvestasi, namun ini dibatasi hanya pada kegiatan investasi berisiko tinggi.

Artinya, kegiatan investasi yang dikhawatirkan bakal mengubah bentang alam.

Namun terhadap investasi yang diyakini berisiko menengah dan rendah, diterapkan sistem standardisasi dan ini disebutkan sebagai salah satu poin penting dalam RUU Omnibus Law bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Omnibus Law membagi risiko menjadi risiko tinggi, sedang dan rendah atau risiko kecil dan setiap risiko tersebut akan dibuatkan standar yang dimaksud,” tutur Bambang.

Untuk risiko tinggi wajib dilakukan Amdal, resiko sedang dikelola melalui Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL dan UPL) yang menjadi standar dan risiko rendah dilakukan dengan sistem registrasi melalui standar sebagai alat kontrol.

”KLHK menyiapkan standard tersebut bersama sektor-sektor yang berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat serta swasta, dari sinilah nanti dilakukan.”

“Standar pemerintah wajib diikuti oleh daerah dan standar menjadi instrumen untuk pengawasan,” papar Bambang.

Dia menilai bahwa pengawasan dilakukan dalam bentuk pengawasan reguler maupun inprompto (pengawasan dilakukan antara lain karena adanya pengaduan masyarakat), dengan begini pengawasan dan penegakan hukum tentu akan jadi lebih kuat.

Sebelumnya saat memberikan arahan dalam Rakornas KLHK, Kamis dan Jumat kemarin, Menteri Siti mengatakan, semangat Omnibus Law Cipta Kerja adalah penyederhanaan regulasi dalam bentuk satu perizinan berusaha.

Baca juga: Tiga Perusahaan Asing Jadi Konsultan Pembangunan Ibu Kota Baru

Dengan begitu nantinya tidak perlu lagi mengurus banyak izin untuk memulai suatu usaha misalnya izin usaha hutan di kawasan hutan produksi dan kuncinya nanti ada pada standar yang jadi pedoman bersama para pihak.

Hal ini tentu tidak terlepas dari upaya untuk memperbaiki prosedur dan pelayanan publik.

Jadi seperti untuk aktualisasi reformasi birokrasi yang  menuntut perlunya standar pengelolaan lingkungan per-kegiatan usaha, bukan berdasarkan pendekatan dokumen izin.

Ini menyederhanakan prosedur atau birokrasi perizinan lingkungan.

Manfaatnya menciptakan transparansi dan kepastian dalam penyelesaian perizinan berusaha, baik di tingkat pusat maupun daerah. (*)