Sebagai Komisaris PT Timah, Rustam Hendaknya Perankan Fungsi Kontrol

Tropis.co, Jakarta- Sebagai salah seorang putra terbaik, dan mantan Gubernur, Rustam Effendi diharapkan mampu memainkan perannya sebagai komisaris yang memiliki fungsi kontrol terhadap manajemen PT Timah dalam mengelola kekayaan alam Bangka Belitung.

Harapan ini disampaika tokoh pejuang pembentukan Provinsi Kep Bangka Belitung, di Jakarta, Kàmis merespon hasil RUPS Luar biasa PT Timah Tbk yang berlangsung di Jakarta, awal pekan ini.

Dalam RUPS yang juga dihadiri pejabat Kementerian BUMN sebagai perwakilan pemegang saham pemerintah, telah diangkat 5 anggota dewan komisaris yang baru. Dan Rustam Effendi, sebagai putra Bangka Belitung, adalah salah seorangnya.

“Sungguh kita berharap banyak kepada Datuk Rustam Effendi, sebagai satu satunya representatif masyarakat Bangka Belitung di jajaran komisaris yang memiliki fungsi kontrol,” tandas Usmandie Andeska, Mantan Ketua Tim Percepatan ( bedepeng), Pembentukan Prov Babel.

” Kita tidak ingin komisaris ada dibayar untuk rapat “mengiyakan” kehendak direksi, tapi abai akan fungsi pengawasannya” lanjut wartawan kelahiran Kelapa Kampit, Belitung Timur yang menetap di Jakarta ini.

Selama ini, menurut hemat Andeska, fungsi kontrol nyaris tidak dijalankan efektif oleh jajaran komisaris. Bahkan, ada kesan kuat, mereka sangat menikmati fasilitas yang diberikan perusahaan, termasuk fasilitas keluar negeri.

” Kami dari luar gelanggang, mendapat kesan seperti itu, komisaris dibayar hanya untuk rapat dan kunjungan lapangan, termasuk ke luar negeri dengan alasan memantau kondisi pasar.”

Bagi masyarakat Bangka Belitung, peran yang harus dimainkan Rustam Effendi sangat penting, mengingat keberadaan kandungan timah di bumi serumpun sebalai ini , tiap waktu terus berkurang, dan kemudian habis, lantaran timah bukanlah tipe komoditas yang bisa diperbarui.

Nah, disaat timah yang masih tersisa inilah, ujar Andeska, kita berharap bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menggerakan ekonomi daerah melalui berbagai kegiatan investasi, berupa ekspansi usaha pada poteni lain.

Artinya, semua nilai lebih yang didapat dari PT Timah, hendaknya diinvestasikan balik di bumi Bangka Belitung, dan jangan dibawa dikabur, sehingga mengesankan ada pihak pihak tertentu ” merampok” kekayaan alam untuk memperkaya diri dan kelompoknya. ” Memang berat memegang amanah ini, yaa bila merasa tak mampu segera mengevaluasi diri,” tandas Andeska lagi.

Saat ditanya, tugas apa yang harus dilakukan Rustam Effendi dan juga anggota Komisaris lainnya, terhadap manajemen PT Timah Tbk. Andeska menjelaskan, bahwa komisaris harus segera mengevaluasi kebijakan kartel yang hanya melibatkan 5 smelter besar, sementara memberangus 27 smelter lainnya, hingga terjadinya pemiutusan hubungan kerja yang sebagian besar adalah masyarakat Bangka Belitung.

Kedua, minta penjelasan direksi lama, yang juga kini masih dipilih sebagai direksi baru, termasuk dirutnya, adanya indikasi kerugian perusahaan, seperti tercermin dalam neraca keuangan pada kuartal ketiga tahun kemarin.

Kata Andeska, dalam neraca pada posisi 31 September 2019, tersirat ada kerugian perusahaan senilai Rp 175 miliar. Padahal, pada posisi 31 Maret 2019, Perusahaan masih meraup laba senilai Rp 255 miliar.

Termasuk juga alasan direksi meminjam dana bank senilai Rp 4 triliun, sehingga ini mengalibat beban pokok perusahaan, untuk biaya keuangan membengkak drastis, hingga mencapai Rp 525.110 miliar dari priode yang sama tahun sebelumnya, 2018, sekitar Rp 200.408 miliar

Tentu dengan tingkat bunga bank sebesar ini, menjadi beban berat bagi perusahaan dalam memperoleh laba bersih optimal. Sehingga semua ini bakal berdampak terhadap pembayaran royalti dan CSR yang menjadi hak masyarakat.

” Naluri wartawanku, merasakan ada sesuatu yang kurang pas dalam “permainan” tata niaga dan sistem titip olah pada mitra dengan jasa ola senilai US 3700 dolar/ton,” ungkap Andeska lagi.

Padahal, jelas Andeska, biaya yang diperlukan untuk memproduksi satu ton bongkaham timah itu, hanya berkusar 800 dolar hingga US 1000 dolar. ” Jadi ada selisih sekitar US 2700 hingga US 2900 dolar/ ton.

” Saya rasa ini PR pertama bagi Datuk Rustam Effendi dan komisaris lainnya ” kata Andeska.