Setelah RUPS Luar Biasa PT Timah Tbk

Oleh: Usmandie A Andeska
Wartawan di Jakarta

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa PT Timah Tbk, yang berlangsung di Jakarta, 10 Februari 2020, akhirnya sepakat menetapkan sejumlah nama untuk duduk di kursi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris.

Di dewan Direksi, M Riza Pahlevi Tabrani, kembali diangkat menjadi Direktur Utama. Sementara Alwin Albar sebagai Direktur Pengembangan Usaha. Dan Muhammad Rizki, bertahan pada posisi Direktur Sumberdaya Manusia. Lainnya, Wibisono, sebelumnya di Perusahaan Gas Negara, menjabat Direktur Keuangan. Agung Pratama, mnenjadi Direktur Operasi dan Produksi, serta Purwoko, sebagai Direktur Niaga.

Di jajaran Dewan Komisaris, Fahri Ali yang hampir 10 tahun menjadi Komisaris Utama, digantikan oleh M Alfan Baharudin. Hampir semua anggota Dewan Komisaris adalah wajah baru. Ada mantan Gubernur Bangka Belitung, Rustam Effendi, diantara 5 nama angota Dewan Komisaris itu.

Jadi, bila diurut, ada dua sosok, orang Bangka Belitung yang duduk di lapisan atas perusahaan publik yang menguasai sepertiga luas wilayah Bangka Belitung, di darat maupun di laut itu.

Mungkin, sedikit terobati ketimbang priode sebelumnya – yang hanya satu orang, putra Bangka Belitung yang ikut sebagai petinggi perusahaan tambang peninggalan Jaman Belanda ini.

Sebelumnya, ada keinginan, setidaknya di dalam jajaran PT Timah Tbk ini, duduk empat putra –putri terbaik Bangka Belitung, dua di jajaran Dewan Direksi dan Dua lagi di Dewan Komisaris. Tapi itu hanya sebatas keinginan yang hanya bertepuk sebelah tangan.

Bukan tak ada alasan, merngapa harus empat orang, bila ada empat putra putri terbaik Bangka Beklitung, tentu mereka memiliki kekuatan untuk menyuarakan kepentingan masyarakat Bangka Belitung, agar didengar parah pengambil keputusan di Pemerintah Pusat atau pemegang saham utama.

Masyarakat Bangka Belitung, merasa sangat berkepentingan agar suaranya didengar Pemerintah pusat. Terutama berkaitan dengan keinginan masyarakat menjadi pemilik perusahaan, ikut menjadi pemegang saham kendati hanya 10%.

Sebab hanya sebagai pemiliklah, sisda kandungan timah yang ada di eprut Bangka Belitung, dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi daerah. Sebab royalti yang hanya 3% lalu CSR atau dana bina lingkungan yang konon hanya dialokasikan sekitar Rp 180 miliar, diyakini tak akan mampu yang menjadi daya pengungkit, mendorong percepatan gerak ekonomi daerah.

Terlebih bila CSR itu hanya untuk kegiatan sosial yang sifatnya tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi, atau untuk usaha kecil menengah untuk warung kopi atau warung kopi yang tak mampu memberikan hentakan pertumbuhan.

Dan ini, tidak akan banyak memberikan pengaruh signifikan pada ekonomi wilayah. Pemberian CSR hanya sebatas melaksanakan kewajiban yang tak memberikan nilai tambah dalam ekonomi berkelanjutan.

Keingginan masyarakat Bangka Belitung ini, sebagai langkah antisipasi pasca timah. Sebab masyarakat Bangka Belitung, pasca timah, tak mau menjadi masyarakat termiskin di dunia, hanya lantaran berbagai potensi sumberdaya alamnya, termasuk timah “dirampok”, dan masyarakat hanya disisakan bekas galian tambang dengan tanah tak berhumus. Tandus, kering kerontang. Bekas galian penuh air yang tak bisa dimanfaatkan karena mengandung pirit. Jangankan untuk dikonsumsi, dijadikan lahan budidaya ikan pun, ikannya mati.

Sementara alam Bangka Belitung dinilai memiliki banyak potensi bernilai ekonomi tinggi dan bisa diperbaharui. Sebut saja , Budidaya ikan air tawar dan air laut, pertanian tanaman pangan , hortikultura berupa sayur mayur dan buah buahan, dan potensi perkebunan rakyat, selain sawit yang ini sudah banyak dikembangkan , baik oleh masyarakat secara individu maupun korporasi. Atau tanaman karet dan lada yang telah menjadi tanaman tradisionil masyarakat secara turun temurun, dan juga potensi wisata baharinya.

Namun sayang, berbagai potensi ini tidak dapat dikembangkan optimal lantaran keterbatasan dana pemerintah daerah. Sementara kalangan investor belum begitu tertarik berinvestasi di wilayah Bangka Belitung. Entah apa penyebabnya, apakah karena mereka menilai masih banyak daerah yang lebih strategis dan berbiaya murah untuk menanamkan modalnya.

Atau mungkin, menilai birokrasi di Bangka Belitung kurang ramah . Menjanjikan kemudahan tapi ruwet dalam kenyataan. Hingga cenderung berakibat pada ekonomi biaya tinggi, membuat bisn is tidak efisien, tidak kompetitif.

Nah, bagaimana kalau kondisi ini berlanjut terus. Mental para birokrasi di daerah lebih berorientasi pada kepentingan pribadinya. Sementara dalam kurun yang tersisa, timah tidak berkontribusi optimal menggerakn ekonomi Bangka Belitung hingga 10 tahun mendatang. Sedangkan berbagai potensi lainnya belum dikembangkan..

Ini suatu pertanyaan besar yang ditujukan kepada Muhammad Rizki dan Rustam Effendi, sebagai representatif masyarakat Bangka Belitung. Mampukah keduanya, mempengaruhi arah kebijakan manajemen PT Timah Tbk, agar hasil timah itu, setidaknya 50% kembali lagi untuk pembangunan ekonomi Bangka Belitung. Ketimbang “dilarikan” sekelompok orang dengan dalih mitra usaha.

Termasuk juga, menyuarakan keinginan masyarakat Bangka Belitung, menjadi pemilik dari perusahaan yang hampir 380 tahun, mengeksploitasi kekayaan alam Bangka Belitung. Perlu dipertegas, bahwa masyarakat tak ingin dibebani dengan kubangan yang berserakan di hampoir semua penjuru pelosok Bangka Belitung.

Mungkin ada yang pesimis bahwa seorang Muhammad Rizki — yang hanya Direktur SDM, bakal mampu mempengaruhi keputusan manajemen dalam menetapkan Rencana Kerja perusahaan , agar penggunaan dana bina lingkungan atau CSR, fokus pada pengembangan ekonomi berkelanjutan yang mampu mengekspansi usaha, tak sebatas jalan ditempat.

Begitu juga dengan sosok Rustam Effendi, apakah mampu menjadi pengawas yang baik. Berani mengoreksi kebijakan direksi yang kurang profesional, dan cenderung menguntung sekelompok orang yang tak memberikan efek positif terhadap ekonomi Bangka Belitung.

Kebijakan yang mengesankan memberikan peluang pada pihak lain untuk memngambil keuntungan, bukan atas dasar perhitungan bisnis yang sehat. Sehingga kemudian, menimbulkan kerugian pada perusahaan yang pada akhirnya, perusahaan tak sanggup membayar royalti kepada daerah yang hanya 3% itu. Atau tak lagi mampu mengalokasi dana CSR, hingga daerah dan masyarakat tidak mendapatkan apa apa dari aktivitas PT Timah.

Tidak ada niat untuk berapriori, dengan sistem kartel yang diterapkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan timah Bangka Belitung yang hanya melibatkan 5 perusahaan smelter – yang konon ada “orang kuat” di balik perusahaan itu, bakal memperkuat posisi likuiditas PT Timah.

Justru sebaliknya, ada kesan kian rapuh ketika melihat neraca keuangan perusahaan pada kuartal ketiga 2019. PT Timah yang pada kuartal kedua mengeruk keuntungan sderkitar Rp 255 miliar, pada kuartal ketiga tahun yang sama, menelan pil pahit, rugi Rp 175 miliar.

Suatu yang sdangat ironis, disaat PT Timah tidak memilkik pesaing, karena tklah mematikan 27 smelter milik swasta, termasuk smelter pengusaha lokal, PT Timash rugi.

Terlebih diketahui, bahwa PT Timah membeli timah jauh lebih murah ketimbang sebelum kartel. PT Timah dikabarkan membeli timah kepada mitranya yang dikelola oleh PT Indometal, dalam kisaran Rp 150 –Rp 160 ribu. Sebelumnya jauh di atas itu karena bersaing dengan smelter swasta.

Tentu ini suatu pertanyaan besar. Ada permain apa mananjemen PT Timah dengan kelima mitranya. Terlebih diketahui, bahwa manajemen PT Timah membayar jasa titip olah yang jauh lebih tinggi ketimbang biaya ola sendiri. Seorang analisis pasar modal menyebut, bila mengolah sendiri, hanya kisaran US 800 – 1000 dolar/ton bongkahan. Tapi saat titip olah mencapai US 3700 dolar. Atau US 3955 dolar/ ton balok timah.

Disebutkan oleh analis itu, kebijakann ini telah mengakibatkan tingginya beban pokok perusahaan , hingga mencapai Rp 13,5 triliun. Nilai ini meningkat sangat drastis ketimbang priode yang sama 30 September 2018 – yang hanya 5,719 triliun.

Beban terbesar; selain bahan baku biji timah, mendekati Rp 11,6 triliun, juga jasa pihak ketiga yang mencapai Rp 1,97 triliun, meningkat luar biasa,– yang sebelumnya hanya Rp 213 miliar.

Selain juga adanya pembengkakan biaya umum dari Rp 588,2 miliar pada posisi 30 September 2018, menjadi Rp 790,5 miliar pada kuartal ketiga, posisi 30 September 2019. Berbagai kebijakan ini yang cenderung merugikan perusahaan dan merugikan masyarakat Bangka belitung, hendaknya menuntut keberanian dewan komisaris, terutama Rustam Effendi untuk mengoreksi .

Masyarakat Bangka Belitung akan sangat bangga dan senang duduknya putra Bangka Belitung di jajaran direksi dan komisaris, namun akan jauh lebih bangga lagi, bila keberadaan keduanya, mampu memberikan harapan yang baik untuk masa depan ekonomi masyarakat dan daerah.