Pangan Olahan Minyak Sawit Lebih Unggul dan Terjaga Keamanannya

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, sosialisasi kepada industri minyak sawit atas kebutuhan mitigasi terhadap 3-MCPD untuk food safety sangatlah penting dan harus menjadi prioritas. Foto : Istimewa
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, sosialisasi kepada industri minyak sawit atas kebutuhan mitigasi terhadap 3-MCPD untuk food safety sangatlah penting dan harus menjadi prioritas. Foto : Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Masyarakat sekarang lebih sadar soal keamanan dan kesehatan dari makanan yang dikonsumsinya dan aktor keamanan pangan (food safety) semakin mendapat perhatian konsumen.

Oleh karena itu, industri minyak sawit yang berperan penting dalam konsumsi produk makanan seperti biskuit, coklat, es krim, dan roti perlu memenuhi standar keamanan pangan.

Apalagi kebutuhan akan minyak sawit pun diyakini akan terus meningkat di seluruh dunia, melebihi minyak nabati.

Sebagai salah satu negara produsen minyak sawit, Indonesia akan memperoleh keuntungan yang cukup besar mengingat hampir 80% dari produksi tersebut digunakan di pabrik bahan pangan.

Pemerintah pun mengupayakan agar standar food safety tersebut telah terpenuhi, di samping sudah ada pula rekomendasi praktik-praktik pencegahan dan mitigasi pembentukan 3-monochloropropan-1,2-diol (3-MCPD), sejenis kontaminan pemrosesan makanan yang ditemukan dalam beberapa makanan olahan dan minyak nabati.

“Sosialisasi kepada industri minyak sawit atas kebutuhan mitigasi terhadap 3-MCPD untuk food safety sangatlah penting dan harus menjadi prioritas,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat membuka Forum on 3-monochloropropan-1,2-diol and Glycidyl Ester (3-MCPD dan GE) yang diselenggarakan oleh Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), di Grand Sahid Hotel, Jakarta, Jumat (7/2/2020).

Hal ini disebabkan oleh kenaikan standar dari pasar global, antara lain kebijakan Uni Eropa (UE) tentang batas maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm untuk minyak sawit jika ingin digunakan sebagai bahan makanan.

Kebijakan ini akan diterapkan mulai Januari 2021, tapi UE sendiri menerapkan batas 1,25 ppm untuk minyak nabati yang diproduksi di negara anggotanya.

Baca juga: Bila Masyarakat Babel Menggugat Hak

CPOPC telah menyatakan keberatan atas kebijakan dua batas maksimum 3-MCPD UE tersebut, khususnya penetapan 1,25 ppm untuk minyak nabati yang diproduksi di sana. Pasalnya, batasan maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm adalah batas keamanan (safety level) yang dapat diterima untuk konsumsi.

Dengan demikian UE juga perlu menerapkan satu batas maksimum yang berlaku untuk semua minyak nabati.

“Konsumen akan disesatkan untuk percaya bahwa minyak sawit itu lebih buruk daripada minyak nabati yang sebenarnya memiliki batas 3-MCPD lebih rendah,” tutur Menko Airlangga.

Menurut Menko Airlangga, negara-negara CPOPC dengan tegas menolak kebijakan UE tersebut karena keputusan terhadap proposal pemisahan dua level maksimum tersebut akan disahkan hari ini di Brussels, Belgia.

Di samping soal ekspor, tujuan membuat batasan yang adil dan jelas untuk 3-MCPD juga penting untuk melindungi pasar domestik.

“Karena masyarakat adalah perhatian utama kami,” katanya.

Forum 3-MCPD dan GE merupakan kegiatan internasional pertama untuk isu ini di Indonesia.

Forum dihadiri lebih dari 450 peserta dari pelaku industri hulu hingga hilir minyak sawit, akademisi, penyedia teknologi, dan pemerintah, serta dihadiri oleh duta besar dan perwakilan negara-negara produsen sawit di Indonesia, yakni Malaysia, Kolombia, Guatemala, Thailand, Peru dan Nigeria.

Forum ini diadakan sebagai tindak lanjut dari mandat Pertemuan Pejabat Senior CPOPC pada November 2019 guna menyiapkan kalangan industri dalam merespon kebijakan batas maksimum 3-MCPD pada minyak sawit yang akan dikeluarkan UE.

Konkretnya, dalam forum ini sebagai wadah bertukar informasi hal-hal apa saja yang sudah dilakukan untuk memitigasi pembentukan kontaminan 3-MCPD/GE dalam rantai suplai di industri, terutama dalam hal riset dan teknologi.

Teknologi itu harus efisien dalam mengurangi level kandungan 3-MCPD/GE dalam berbagai produksi minyak sawit dari hulu sampai hilir.

“Sehingga ke depannya, kita bisa membuat spesifikasi crude palm oil (CPO) baru yang sudah dimodifikasi sebagai usaha mitigasi dan meningkatkan kualitas minyak sawit itu sendiri,” ujar Menko Airlangga.

Baca juga: Kinerja Positif di Tahun 2019, Optimistis Tatap 2020

Menko Perekonomian pun menegaskan negara-negara CPOPC harus bersatu untuk mengatasi hambatan perdagangan minyak sawit, termasuk kampanye negatif yang dilakukan beberapa negara, misalnya, minyak sawit yang disebut sebagai minyak nabati hasil deforestasi.

“Di sini sebaiknya kita tak hanya memikirkan deforestasi, tapi juga masalah keberlanjutan lingkungan ketika memproduksi CPO.”

“Semua stakeholders, dari pelaku industri minyak sawit, peneliti sampai pemerintah, harus bergerak dalam usaha kolektif ini sehingga dapat meningkatkan kualitas CPO dan produk konsumsi lainnya karena kita terapkan zero tolerance untuk food safety,” pungkas Menko Airlangga. (*)