Surplus Perdagangan Indonesia dengan Belanda US$2,5 Miliar, 35 Persennya Berkat Ekspor CPO

Produksi bulan Mei yang lebih rendah dari bulan April 2020 diduga masih disebabkan efek kemarau panjang 2019 dan pengaruh musiman. Foto: TROPIS.CO/Jos
Produksi bulan Mei yang lebih rendah dari bulan April 2020 diduga masih disebabkan efek kemarau panjang 2019 dan pengaruh musiman. Foto: TROPIS.CO/Jos

TROPIS.CO, JAKARTA – Sangat disayangkan bahwa Uni Eropa secara berkala mengurangi hingga nantinya melarang penggunaan CPO sebagai bahan baku biodiesel dan test out-nya sampai dengan tahun 20230.

Meski sudah menjadi sebuah keputusan politik dari Parlemen Uni Eropa sehingga semua negara Eropa itu harus mengikuti, Indonesia dan Belanda masih bisa mencari jalan tengah sebelum CPO dilarang di tahun 2030.

Pendapat itu disampaikan Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja di Jakarta belum lama ini.

“Kita harus mencari jalan agar ekspor CPO ke Belanda tidak menurun karena surplus perdagangan Indonesia dari Belanda sebesar US$2,5 miliar dan 35 persennya berasal dari ekspor CPO.”

“Belanda juga mengimpor CPO dari Indonesia bukan hanya untuk konsumsi dirinya sendiri.”

“Mereka juga mengekspornya lagi ke Italia, Spanyol, dan bahkan ke Peru.”

“Kalau kita tak bisa mengekspor CPO ke Belanda, maka potensi kehilangan pendapatan kita mencapai sekitar US$1 miliar.”

“Untuk menggantikan US$1 miliar dari sawit dengan komoditas lain bukan perkara yang gampang, apa yang hendak kita jual?” tutur Dubes Puja.

Baca juga: Sarbi Grup Rayakan Ulang Tahun dengan Menanam Pohon di Lahan Kritis

Menurutnya, Indonesia harus memetakan hingga 10 tahun ke depan ini apa yang bisa menjadi alternatif agar nilai ekspor Indonesia ke Belanda tidak turun.

“Sesuai dengan keinginan pemerintah, kita tak boleh lagi bergantung pada ekspor komoditas.”

“Kita harus mulai berpikir untuk menggalakkan ekspor produk-produk manufaktur.”

“Oleh sebab itu, kita harus lebih berinovasi dan berkreasi untuk menjadikan produk-produk manufaktur Indonesia bisa masuk ke UE, khususnya Belanda,” ungkap Puja.

Beberapa produk Indonesia yang bukan CPO telah menyumbangkan devisa yang lumayan, seperti produk bahan kimia, produk fashion seperti sepatu dan pakaian, hingga komponen elektronik.

Belakangan spices atau rempah-rempah dari Indonesia kian bertambah permintaannya.

“Hal ini terjadi karena ada banyak diaspora, ada sekitar 300 restoran Indonesia di Belanda,”

“Kita harus terus mencoba mendiversifikasi produk-produk ekspor kita ke Belanda.”

“Seraya berharap, karena kita tak tahu apa yang terjadi 10 tahun ke depan, semoga saja kebijakan pelarangan penggunaan CPO sebagai bahan baku biodiesel tidak terjadi.”

“Kita tidak tahu apakah minyak dari biji bunga matahari maupun rapesheed dapat mengisi kuota yang nantinya ditinggalkan CPO.

“Namun rasanya sulit bagi UE memenuhi kebutuhan biodiesel mereka tanpa menggunakan menggunakan CPO.”

“Kecuali, mereka mengggulirkan kebijakan menggantikan kendaraan bermotor mereka dari penggunaan biodiesel menjadi kendaraan listrik yang menggunakan baterai,” papar Puja.

Baca juga: Instiper dan Astra Agro Tandatangani Nota Kesepahaman Riset dan Inovasi Industri Kelapa Sawit

Dia tetap mengingatkan bahwa Indonesia tetap harus mencari alternatif guna mengantisipasi dan mengisi kekosongan bila CPO benar-benar dilarang sebagai bahan biodiesel di UE pada tahun 2030.

“Di sisi lain, kita masih bisa mempertahankan CPO sebagai komoditas bahan baku untuk produk-produk makanan mereka, terutama vegetables oil masih belum tersentuh secara politis,” pungkas Puja. (*)