Cegah Longsor dengan Teknik Soil Bioengineering

Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono, Kepala Puslitbanghutan BLI KLHK, KIrsfianti L. Ginoga, Prof. Chairil Anwar Siregar, dan Dr. Budi Hadi Narendra (dari kiri ke kanan) memaparkan kiat pencegahan tanah longsor. Foto: Istimewa
Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono, Kepala Puslitbanghutan BLI KLHK, KIrsfianti L. Ginoga, Prof. Chairil Anwar Siregar, dan Dr. Budi Hadi Narendra (dari kiri ke kanan) memaparkan kiat pencegahan tanah longsor. Foto: Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Bencana tanah longsor dan banjir bandang beberapa waktu lalu, meliputi Desa Lebak Gedong dan sekitarnya, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak dan Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Banjir Bandang dan Tanah Longsor Kabupaten Lebak dan Bogor (KLHK, 2020), diketahui bahwa kedua lokasi bencana tersebut berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung bagian hulu yaitu sub DAS Ciberang, serta di sub DAS Cidurian Hulu, yang memiliki kemiringan lereng >30 persen.

Mengutip penelitian sebelumnya yang dilakukan Karnawati (2004), Dr. Budi Hadi Narendra, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, bahwa longsor didefinisikan sebagai gerakan massa tanah atau batuan, maupun kombinasi keduanya menuruni lereng, akibat terganggunya kestabilan massa penyusun lereng tersebut.

“Kestabilan lereng ini dipengaruhi kondisi morfologi, khususnya kemiringan lereng, kondisi batuan atau tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng, sedangkan pemicu longsor itu sendiri berasal dari peningkatan kandungan air dalam lereng karena hujan, getaran saat gempa bumi, serta peningkatan beban seperti bangunan, atau pohon yang terlalu rimbun sehingga melampaui kuat geser tanah, pemotongan kaki lereng yang mengakibatkan menurunnya gaya penyangga, dan susutnya muka air yang cepat di danau/waduk, yang dapat menurunkan gaya penahan lereng,” jelas Budi mengutip hasil penelitian Susilawati dan Veronika pada tahun 2016 lalu.

Mendukung upaya preventif, Budi juga mengemukakan teknik soil bioengineering untuk menstabilkan kelerengan.

“Sebagaiamana hasil kajian Nugraha et.al (2016), pada prinsipnya metode ini berusaha menutupi permukaan lereng yang terbuka dengan tanaman, agar akar tanaman dapat meningkatkan kohesi tanah, sebagai suatu sistem konstruksi alami penstabil lereng.

“Selain itu, akar dapat menyerap air dalam tanah melalui proses transpirasi sehingga dapat menurunkan tegangan air pori,” ujarnya di Jakarta, Selasa (21/1/2020).

Baca juga: KLHK Lakukan Penanganan Holistik untuk Bencana Ekologis 2020

Sebagaimana halnya jenis tanaman akar wangi atau rumput vetiver yang sedang ramai dibicarakan saat ini, Budi menyampaikan, peranan akar pohon sebagai pengcekeraman juga dapat memberikan kestabilan tanah pada lereng, meski tetap bergantung pada faktor lain seperti sistem morfologi, penguatan, distribusi akar, dan interaksi antara akar-tanah.

“Demikian pula halnya karakteristik sistem perakaran tanaman seperti kerapatan akar, jumlah akar, kedalaman akar, pola percabangan akar, sudut kemiringan akar, dan diameter akar juga akan mempengaruhi proses longsoran. Untuk meningkatkan stabilitas lereng, panjang akar mesti mencukupi supaya akar-tanah dapat berinteraksi dan mengcengkeram tanah,” tutur Budi.

Selain rumput vetiver, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukannya bersama Dr. Ogi Setiawan di tahun 2012, perakaran tanaman bidara laut (Strychnos lucida R.Br.), juga diketahui sesuai untuk upaya pengendalian longsor.

“Bidara laut termasuk yang cocok untuk ditanam di daerah rawan longsor karena selain perakarannya sesuai, jenis pohon ini ukurannya juga tidak besar sehingga tidak terlalu membebani lereng.”

“Akan lebih bagus dikombinasikan dengan vetiver, karena akan membentuk kanopi berstrata/bertingkat, yaitu tajuk vetiver di lapisan bawah dan bidara di lapisan atas. Tajuk yang berstrata juga akan lebih berperan efektif dalam pengurangan erosi,” paparnya lagi.

Di sisi lain, pengaruh kelerengan terhadap longsor ini juga dinyatakan oleh Prof. Chairil Anwar Siregar.

“Longsor terkait dengan kemiringan lereng (slope), dan ini hal yang paling kritis, karena pada malam hari malam hari temperature turun, molekul air membesar, partikel tanah terangkat, dan saat siang hari temperatur tanah kembali normal, dan terjadi perpindahan partikel tanah (soil creep).”

“Jika hal ini terjadi di tanah datar, maka akan kembali ke tempat semula, tapi jika di tanah miring, dengan dukungan gravitasi, maka tanah akan meluncur.”

“Sepanjang permukaan tanah bervegetasi bagus, perakarannya bagus, infiltrasi akanaliran bagus, namun jika di daerah miring, air limpasan (run off) yang terjadi akan cepat sekali. Diperlukan tindakan untuk memperlambat run off, dengan memperkecil daya abrasi,” ungkapnya.

Baca juga: Kebijakan Kawasan Hutan Hambat Reforma Agraria

Ia juga berpendapat, kombinasi penerapan bangunan konservasi tanah dan ar (KTA) dan teknik revegetasi sudah merupakan langkah yang tepat sebagai upaya pencegahan longsor.

“Jika memungkinkan, hindari pemukiman dan pengolahan tanah intensif untuk daerah yang memiliki kelerengan curam.” kata peneliti yang biasa disapa dengan nama Prof. CAS ini.

Sementara itu, Kepala Puslitbanghutan BLI KLHK, KIrsfianti L. Ginoga juga berharap, upaya preventif seperti pembangunan bangunan KTA, penanaman vetiver dan bidara laut dapat segera ditindaklanjuti dalam bentuk kolaborasi antar pihak-pihak terkait, untuk mendukung percepatan realisasi di lapangan, khususnya untuk daerah-daerah rawan longsor. (*)