Peran Strategis Perkebunan Sawit bagi Ketahanan Pangan Nasional

FGD Sawit Berkelanjutan bertema “Ketahanan Pangan Indonesia: Sawit Berkelanjutan,”, Kamis (19/12/2019), diadakan InfoSAWIT di Jakarta. Foto: InfoSAWIT
FGD Sawit Berkelanjutan bertema “Ketahanan Pangan Indonesia: Sawit Berkelanjutan,”, Kamis (19/12/2019), diadakan InfoSAWIT di Jakarta. Foto: InfoSAWIT

TROPIS.CO, JAKARTA – Prediksi harga yang diramalkan dalam beberapa seminar akhir-akhir ini, menyajikan beberapa indikator akan kenaikan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar global dan keberadaan bisnis minyak nabati global ini, memberikan peluang besar bagi produk CPO dan turunannya di masa depan.

Bisnis minyak nabati termasuk CPO dan turunannya, kerap menjadi indikator pula bagi kesejahteraan masyarakat yang mengonsumsinya.

Jika kesejahteraan meningkat, maka konsumsi minyak nabati juga akan bertambah.

Produk CPO dan turunanya kerap menjadi subtitusi bagi minyak nabati lainnya karena penggunaannya yang paling lengkap dibandingkan yang lainnya.

Kejatuhan harga selama dua tahun lebih cukup mengguncang keberadaan bisnis CPO dan turunannya.

Namun, kerja sama perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit yang erat telah menyelamatkan industri ini dari kehancuran.

Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit memiliki peranan besar bagi ketahanan pangan masyarakat desa.

Akibat menurunnya harga CPO, berbagai aktivitas perkebunan banyak mendapatkan hambatan dan berkurangnya pendapatan yang diterima pekebun dari menjual hasil panennya menjadi pemicu utama dari melesunya aktivitas perkebunan kelapa sawit hingga hasil panen tandan buah segar (TBS) ikut anjlok di kemudian hari.

Oleh sebab itu, melalui pengelolaan berkelanjutan, dimana pendapatan dari penjualan hasil panen, bisa didapatkan dari jumlah hasil panen yang selalu bertumbuh.

Kendati ada penurunan harga, namun dari hasil panen yang didapat selalu bertumbuh, maka jumlah pendapatan dari hasil panen bisa jadi tetap atau bertambah meski
sedikit.

Menjaga pasar minyak sawit yang sudah ada, serta membuka berbagai peluang terciptanya pasar baru, juga menjadi kunci keberhasilan bagi minyak sawit Indonesia.

Berbagai potensi terciptanya pasar, tentu saja perlu dukungan promosi minyak sawit kepada pasar global, sekaligus dukungan kuat dari Pemerintah Indonesia.

Selain tetap menerapkan prinsip berkelanjutan, menurut Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Tiur Rumondang, memang kerap muncul pertanyaan dari berbagai pihak bila sudah masuk anggota RSPO apakah kemudian perkebunan kelapa sawit tersebut sudah sustainable?

Dia menyatakan, untuk para pelaku sawit yang telah menerapkan praktik berkelanjutan, RSPO menjadi salah satu alat untuk mengukur sampai sejauh mana praktik berkelanjutan itu diterapkan dan dampaknya kepada perlindungan lingkungan.

“Apakah dampaknya bisa mengurangi bencana atau justru menambah bencana, namun standar itu dibuat sebagai alat pengukur dampak positif,” katanya.

Ia juga mengungkapkan bahwa melalui theory of Change RSPO, menjadi upaya bagi pelaku perkebunan tidak memiliki pengaruh buruk terhadap lingkungan.

“Misalnya dalam konteks sosial, banyak masyarakat yang tidak mengetahui haknya, maka itu kita perlu melakukan perbaikan secara bersama dalam proses pembukaan lahan sehingga, masyarakat tidak kehilangan lahan,” katanya dalam FGD Sawit Berkelanjutan bertema “Ketahanan Pangan Indonesia: Sawit Berkelanjutan,”, Kamis (19/12/2019), yang  diadakan InfoSAWIT di Jakarta.

Sementara Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, pengembangan perkebunan kelapa sawit perlu terus dilakukan perbaikan, apalagi merujuk UUD 45 pasal 33 ayat 4 telah mengamanatkan pengembangan ekonomi berbasis praktik berkelanjutan.

“Jadi jangan salah pada UUD 1945 amandemen telah mengamatkan pengembangan ekonomi berwawasan berkelanjutan,” tuturnya.

Peranan sektor sawit yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini semakin didukung oleh kebijakan dan arahan pemerintah.

Pemerintah Indonesia telah menentukan target untuk mencapai produksi minyak sawit atau crude palm oil (CPO) sebesar 40 juta ton pada tahun 2020.

Selain itu, pemerintah juga memiliki target produktivitas yang disebut ‘Visi 35:26’ yaitu untuk dapat memproduksi buah sawit atau fresh fruit bunches (FFBs) sebanyak 35 ton per hektar dengan tingkat ekstraksi 26 persen.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah mencoba berbagai inisiatif untuk mendukung sektor swasta maupun petani sakala kecil diantaranya dengan mengalokasikan sejumlah lahan di kawasan hutan untuk penggunaan diluar kehutanan dan program reformasi agraria bagi petani skala kecil dan masyarakat.

Pembangunan sektor sawit erat kaitannya dengan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi ekosistem hutan dan gambut di Indonesia.

“Dampak lingkungan tersebut tidak terkait dengan karakteristik tanaman sawit itu sendiri, namun lebih terkait ke proses pembangunan dan budidaya perkebunan sawit,” ujar Herry. (*)