Titik Api Terbesar di Kawasan Hutan

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) lebih banyak terjadi di area luar konsesi. Foto : Fajar Indonesia Network
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) lebih banyak terjadi di area luar konsesi. Foto : Fajar Indonesia Network

TROPIS.CO, JAKARTA – Kalangan akademisi dan praktisi hukum meragukan pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebutkan 85 persen kebakaran terjadi di area konsesi yang dikelola untuk kepentingan bisnis perkebunan.

Pasalnya, selain masih simpang siurnya data mengenai luasan lahan terbakar di Indonesia, masih ada beda data antara antara KLHK dengan Satgas Karhutla seperti yang yang terjadi di Riau.

Persoalan lain, KHLK tidak pernah mengklasifikasikan luasan karhutla berdasarkan pemegang dan penangggung jawab konsesi.

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Yanto Santosa menyarankan, KLHK sebaiknya mengklasifikasikan masing-masing luasan konsesi terbakar berdasarkan penanggung jawab konsesi lahannya.

Penghitungan tidak hanya dilakukan pada kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), namun juga di konsesi tanah negara seperti areal restorasi ekosistem, areal moratorium, areal kawasan hutan lindung, area kawasan konservasi dan taman nasional.

Dari situ, bisa diklafikasi besaran persentase lahan terbakar berdasarkan kepemilikan serta penanggung jawab konsesi.

“Kalau penyajian datanya seperti itu, mustahil karhutla di perkebunan sawit dan HTI mencapai 85 persen,” kata Yanto di Jakarta, belum lama ini.

Hanya saja, kata Yanto, penyajian data juga punya kepentingan.

Kalau dilihat dari jumlah perkara yang ditindak yakni 55 perusahaan, satu lahan masyarakat, satu konsesi restorasi, namun mengecualikan penanggung jawab hutan negara, persentase itu memang masuk akal, jika konsesi perusahaan terbakar mencapai 85 persen.

“Hanya saja, data itu tidak merepresentasikan kondisi karhutla sesungguhnya sehingga bicara data itu tergantung dari mana melihatnya,” ungkap Yanto.

Pemerintah, kata Yanto, harus lebih fair dan bijaksana dalam mengungkapkan satu permasalahan agar tidak menimbulkan masalah baru.

Seharusnya, para pejabat pemerintah tidak menganggap jumlah institusi yang ditindak sebagai suatu prestasi karena kontra produktif bagi iklim investasi Indonesia.

Hal itu bisa menyulitkan promosi-promosi yang dilakukan Pemerintah Indonesia baik untuk sawit maupun kayu.

Gakum bisa saja menindak instansi yang melanggar setelah ada pembuktian dan tidak perlu menggembar-gemborkan terlebih dulu.

“Tidak ada yang harus ditutup-tutupi, namun tidak semuanya harus diumbar dan sebaiknya internal KLHK tetap melakukan penindakan tanpa harus mengumbar agar iklim investasi tetap kondusif.”

Sementara itu, pengamat hukum lingkungan dan Kehutanan Dr Sadino justru punya pendapat berbeda.

Menurut dia, tahun ini justru karhutla didominasi oleh kawasan hutan negara yang menjadi tanggung jawab KLHK serta kawasan gambut yang dikelola BRG.

Data Global Forest Watch (GFW) per 1 Januari 2019 hingga 16 September 2019 jelas menunjukkan di seluruh Indonesia, kebakaran di dalam konsesi sawit mencapai 11 persen, sedangkan luar konsesi mencapai 68 persen.

“Kawasan hutan negara dan gambut yang terbakar, jauh lebih luas dibandingkan kawasan berizin.”

“Pemerintah harus berani menunjukkan tanggung jawab atas konsesi kelolaannya, apalagi kegiatannya didanai APBN,” kata Sadino.

Selama ini, pemerintah terlalu arogan dan dengan mudah menunjuk masyarakat dan swasta sebagai penyebab karhutla di semua konsesi, termasuk taman nasional yang menjadi tanggung jawabnya.

“Sikap ini tidak adil dan menunjukkan ada yang tidak beres di Pemerintahan saat ini. Dalam hal ini, masyarakat punya hak untuk menggugat pemerintah,” ucap Sadino.

Dia menilai, BRG juga harus bertanggung jawab atas kebakaran gambut yang menjadi konsesi kelolaannya.

Bahkan, dalam konteks bernegara yang kuat dalam pengawasan lingkungan, semua tanggung karhutla ada di pemerintah.

Sementara itu, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Raffles B. Panjaitan mengatakan, sejauh ini sebagian besar perusahaan sudah melaporkan kepatuhannya terhadap Permen LHK Nomor 32/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

“Kami akan melakukan evaluasi pada November hingga Desember, evaluasi juga dilakukan terhadap pemerintah daerah.”

“Sesuai peraturan menteri, pemda baik provinsi hingga kabupaten/kota telah diperintahkan untuk membentuk unit pengelolaan kawasan hutan, juga sarana prasarana, termasuk satuan tugas pengendalian karhutla,” jelas Raffles.

Di luar kawasan hutan, ungkap Raffles, pemda memiliki kewenangan mengawasi jalannya kegiatan pengelolaan lahan di masyarakat. (*)