Kepedulian Masyarakat Indonesia Untuk Mengelola Sampah Sangat Minim

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Rosa Vivien Ratnawati meminta Pemda meninggalkan pengelolaan sampah dengan model kumpul-angkut-buang harus ditinggalkan. Foto : KLHK
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Rosa Vivien Ratnawati meminta Pemda meninggalkan pengelolaan sampah dengan model kumpul-angkut-buang harus ditinggalkan. Foto : KLHK

TROPIS.CO, JAKARTA – Ada lima permasalahan mendasar soal persampahan yang mendesak dibenahi di Indonesia mulai dari tingkat kapasitas pengelolaan sampah yang rendah, kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sampah sangat minim, hingga penegakan hukum yang belum memberikan efek jera terhadap.

Fakta dan data itu disampaikan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, di sela-sela Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Adipura 2019 di Jakarta, Senin (23/7/2019).

Menurutnya, masalah pertama adalah tingkat kapasitas pengelolaan persampahan dari pemerintah daerah yang relatif masih rendah.

Walaupun angka tingkat pelayanan semakin meningkat dari tahun 2015 sebesar 63,70 persen menjadi 71,59 persen di tahun 2018, namun pengelolaan sampah yang baik dan benar baru menyentuh angka 32 persen.

“Hal ini disebabkan karena operasional TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang masih dominan dioperasikan secara open dumping (pembuangan terbuka).”

“Pada tahun 2018, TPA open dumping tercatat masih menduduki 55,56 persen secara nasional,” tutur Vivien.

Permasalahan kedua yaitu tingkat kepedulian publik yang masih sangat minim berkaitan dengan pengelolaan sampah.

Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menunjukkan Indeks Ketidakpedulian Masyarakat Indonesia terhadap sampah mencapai angka 72 persen.

Permasalahan ketiga adalah tren peningkatan sampah plastik.

Pada tahun 1995, komposisi sampah plastik sembilan persen, meningkat menjadi 11 persen di tahun 2005, dan pada tahun 2016 sebesar 16 persen.

Apabila tren ini berjalan secara normal business as usual, maka persoalan sampah plastik ini menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan dan lingkungan hidup.

Permasalahan keempat, ungkap Vivien, adalah peran dan tanggung jawab produsen yang belum menjadi sebuah kewajiban.

Kelima atau terakhir adalah penegakan hukum yang belum memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran.

Kelima persoalan mendasar pengelolaan sampah di Indonesia tersebut semakin berat saat ditambah beban baru terkait sampah ikutan dari import scrap (bahan baku) industri kertas, plastik, logam, karet, kaca, dan kain.

Oleh karena itu, upaya menjaga kualitas lingkungan perkotaan menjadi sangat penting.

Selain untuk menjaga sustainabilitas pembangunan, kualitas lingkungan perkotaan yang baik dapat meningkatkan daya saing kota dan bangsa Indonesia.

Hal ini dapat tercapai jika kota semakin bersih dan bebas pencemaran, sehingga kota semakin sehat dan nyaman serta masyarakat terbebas dari penyakit.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah memberikan arahan legal dalam hal pengelolaan sampah secara nasional.

Kemudian Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga menjadi terobosan baru dalam pengelolaan sampah nasional yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan pengelolaan sampah terintegrasi mulai dari sumber sampai ke pemrosesan akhir.

Target Jakstranas adalah 100 persen sampah terkelola dengan baik dan benar pada tahun 2025 yang diukur melalui pengurangan sampah sebesar 30 persen dan penanganan sampah sebesar 70 persen.

Pemerintah Daerah diharuskan menyusun Dokumen Kebijakan Strategi Daerah (Jakstrada) dalam kurun waktu enam bulan untuk pemerintah daerah provinsi dan satu tahun untuk pemerintah daerah kabupaten/kota.

“Dalam konteks itulah Program Adipura mengalami titik belok baru atau revitalisasi sebagai salah satu instrumen dalam merubah wajah perkotaan di Indonesia.”

“Program Adipura menggugah kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat untuk menjaga kebersihan dan keteduhan wilayahnya,” tutur Vivien.

Dia secara tegas meminta kepada Pemerintah Daerah bahwa pengelolaan dengan model kumpul-angkut-buang harus ditinggalkan.

Sampah harus dikelola sejak dari sumbernya mengingat semakin sulitnya memperoleh lahan TPA dan beratnya dampak pencemaran sampah yang tidak dikelola dengan baik.

Dalam konteks ini, pemerintah, terutama kabupaten/kota, bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah sebagai manifestasi dari fungsi pelayanan publik.

Untuk itu sumber daya masyarakat perlu dioptimalkan melalui upaya-upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah yang difasilitasi pemerintah.

Rakernis Adipura 2019 diikuti oleh 800 peserta yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, yaitu Kepala Dinas Lingkungan Hidup serta Kepala Dinas Kebersihan dari 514 Kabupaten/Kota dan 34 Provinsi di seluruh Indonesia serta Kementerian/Lembaga terkait lainnya.

“Program Adipura harus menghadirkan dampak positif melalui pengelolaan sampah dan kualitas lingkungan hidup perkotaan di Indonesia.”

“Tugas kita semua untuk memastikan bahwa udara yang dihirup, air yang diminum, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat kita adalah lingkungan yang bersih dan sehat,” pungkas Vivien. (aby)