DPR Minta Panja Tunda RUU Pertanahan Karena Sarat Persoalan

Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif APHI bersama Viva Joga, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI saat bicara FGD RUU Pertanahan di DPR RI
Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif APHI bersama Viva Joga, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI saat bicara FGD RUU Pertanahan di DPR RI

TROPIS.CO, JAKARTA – Rancangan Undang Undang (RUU) Pertanahan yang kini tengah dibahas Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR RI bersama Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional diyakini akan menimbulkan konflik sektoral.

Karena itu di dalam Forum Group Discussion (FGD) diselenggarakan Forum Wartawan DPR RI, Kamis (18/7/2019), tersirat imbauan agar pembahasan RUU Pertanahan ini tidak dilakukan terburu-buru dan pembahasannya ditunda.

Dengan begitu semua atau instansi yang bersentuhan dengan urusan tanah dilibatkan di dalam pembahasannya agar tidak ada pihak yang merasa dimarjinalkan.

FGD yang berlangsung di Media Center DPR RI itu menghadirkan nara sumber Hendri Josodiningrat, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pertanahan.

Ada Viva Joga, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, membidangi Pertanian, Perikanan dan Kelautan, serta Kehutanan.

Tampil juga Direktur Eksekutif Asiosiasi Pengusaha Hutan Indonesia ( APHI), Purwadi Soeprihanto.

Purwadi Soeprihanto mengatakan bahwa tadinya di dalam perspektif pengusaha kehutanan adalah, bagaimana RUU Pertanahan mengatur relasi antara pertanahan di satu sisi, mengatur ruang, tanah di atas dan di bawah dengan pengguna penguna lain yang memang sudah diatur secara sektoral.

Nyatanya, lanjut Purwadi, dalam perjalanannya, substansi RUU Pertanahan mengatur relasi antar sektor, relasi antar kehutanan, pertambangan, perkebunan dan lain-lain, dibingkai dalam bentuk hak pengelolaan.

“Hal ini tercermin di dalam pasal demi pasal, artinya dari pasal 1 hingga pasal 62.”

“Hingga di sini bicara bingkainya adalah hak pengelolaan dalam konteks pertanahan,” kata Purwadi.

Tapi kemudian, tiba tiba di dalam pasal 63 dan seterusnya, muncul kata kawasan yang kemudian menimbulkan pertanyaan.

Hal ini sangat wajar, karena sejak awal, kata kawasan itu tidak ada penjelasannya.

“Baik itu, di dalam pengantar maupun di dalam batang tubuh, kemudian di dalam pasal 63 dan seterusnya, tiba tiba muncul kategori kawasan,” ujarnya.

“Bagi kawan kawan kehutanan, tentu memaknai kata kawasan dalam pasal 63 itu, salah satunya, kawasan hutan atau apakah ada kawasan lain, misalnya,” tanya Purwadi.

Jadi sungguh sangat jelas, ketika bicara kawasan, tidak hanya bicara tanah.

Melainkan suatu ruang, sebuah ekosistem, di mana di dalamnya, didominasi oleh pohon, satwa, flora , fauna dan semua yang berintegrasi di dalamnya.

Karenanya, penyebutan kawasan di dalam pasal 63 dan seterusnya itu, menimbulkan ketidakkonsistenan dan kebingunan.

“Lantaran itu perlu diperjelas batasan “kawasan” tersebut, Andai kata terkait dengan kawasan hutan, kembali kepenjelasan sebelumnya, tetap dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tutur Purwadi Soeprihanto.

Jauh sebelum pembahasan RUU Pertanahan ini, menurutnya, ada ketetapan MPR Nomor 9 Tahun 2001 yang mengatur tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam (SDA).

Dan bila dicermati, di dalam TAP MPR itu, secara tegas mengatur dua locus, pembaharuan agraria termasuk pertanahan dan soal sumber daya alam.

Mengapa demikian, karena tadinya, UU Pokok Agraria itu lebih banyak mengatur tentang keagrariaan.

“Sementara terkait sumber daya alam, diatur secara tegas sebagai lexs specialist.”

“ Kami kira, undang-undang ini kemudian mengisi yang tadinya memang tidak diatur, dan kemudian menjadi lexs specialis, sehingga kemudian, mengapa RUU pertanahan ini muncul sebagai ruang untuk menyempurnakan yang belum diatur di dalam undang-undang tadi,” ucap Purwadi.

“Lantaran itu pula, karena masih terjadi banyak yang tidak singkron, kami meminta agar Panja, menunda dulu pembahasan RUU Pertanahan ini.”

“Selain karena faktor faktor ketidakpastian usaha, juga karena ada kewajiban meregistrasi kawasan hutan, diyakini ini akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi, sebab bakal ada tumpang tindih kewenangan dalam proses pendaftaran tanah,” cetusnya.

Pesan Sponsor

Sementara itu, Hendri Josodiningrat menegaskan bahwa RUU tentang pertanahan, adalah suatu kenicayaan – yang tidak boleh tidak, dan harus ada. Hanya dalam perumusan dan pembahasannya harus hati hati, karena kalau mencermati diantara Daftar Isian Masalah (DIM) yang diajukan pemerintah, ada sekilas – kalau kita mau negatif tingking atau mau Su’udzon, Ini kayak ada pesan Sponsor.

Sebagai contoh, Hendri menyebut hal yang berkaitan dengan Hak Guna Bangunan (HGB).

Pada saat ini, HGB hanya 25 tahun, namun di dalam DIM ada yang mengusul 45 tahun.

“Ada apa ini? Saya bilang 25 tahun, cukup untuk mendatangkan investor dan sebagainya, jadi masalahnya apa, kan gak ada masalah, toh investor datang juga, kan gak ada masalah, artinya harus jeli,” tutur Hendri.

Hendri mengatakan, setiap undang undang tentu arah kebijakannya berpihak kepada rakyat.

Namun kita selalu dihadapi dengan suatu persoalan, banyak masyarakat yang bertani di dalam kawasan hutan.

Contoh, Pemda Lampung sangat membanggakan dengan hasil kopi yang dihasilkan masyarakatnya.

Padahal kopi itu, di tanam di atas tanah yang merupakan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan.

Sungguh ini suatu dilemma, di suatu sisi kita bangga dengan kopi yang dihasilkan petani, namun disisi lain, ditanami di daerah daerah yang tak boleh. Nah, Sekarang kita arahnya mau kemana, kalau memang pro rakyat , keberpihakan kepada rakyat, maka ini harus dialihkan statusnya , ada kerja sama antara kementerian ATR/BPN, Kementerian Pertanian di dalam menyusun RUU tentang Pertanahan ini.

“Memang banyak sekali , instansi yang harus dilibatkan, tidak cukup hanya kementerian ATR/BPN saja, seperti tadi saya dengar, kementerian pertanian, kementerian PU kaitannya dengan jalan, infrastruktur dan sebagainya,” paparnya lagi.

Karena di Komisi II ini, 80 persen incumbent itu, pada priode mendatang, hampir tak kembali, maka nanti akan diisi oleh anggota baru yang belum tentu mremahami.

Sehingga Hendri merasa khawatir, nantinya, buka suatu hal yang mustahil, beberapa pasal bakal digugat ke Mahkamah Konstitusi sehingga kemudian dibatalkan dan dicabut lagi.

“Saya meminta teman teman Pers,masyarakat mengawasi Kinerja dari Panja ini ke depan, agar betul-betul memberikan kenyamanan untuk semua pihak, sudah capek kerja, ada beberapa pasal yang digugat ke MK, batalkan lagi, dan dicabut lagi, karenanya harus hati hati sebab soal tanah ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” pungkasnya.

Sarat Persoalan

Wakil Ketua Komisi IV, Viva Joga menilai, bahwa RUU Pertanahan ini masih sarat dengan persoalan dan diyakini bila terus dibahas dan disahkan oleh sidang Paripurna DPR RI ini akan menambah runyam konflik agraria, dan di dalam pemerintahan sendiri masih terjadi konflik di dalam pasal per pasalnya.

“Jadi menurut saya RUU pertanahan, masih sarat dengan persoalan, kedua RUU pertanahan ini akan menambah runyam konflik agraria,” ungkap Viva Joga.

Viva Joga mengakui, bahwa dirinya beberapa kali didatangi rekan mitra kerjanya,

Dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan juga rekan dari Kementerian ESDM.

Mereka sepertinya kurang dilibatkan.

Padahal berbicara tanah, kaitannya tak sebatas perizinan.

Tetapi juga ada flora, ada fauna, ada tambang, ada perkebunan, ada mineral di dalamnya. Dan mereka mempertanyakan bagaimana pengelolaannya.

Sementara masing-masing kementerian, juga punya kewenangan untuk memberikan izin prinsip atau izin pinjam pakai, misalnya berkaitan dengan kawasan hutan.

Bila seluruh administrasi diserahkan kepada ATR, maka itu akan menghilangkan undang-undang kehutanan, karena di dalamnya berbicara soal kawasan hutan.

Kondisi ini perlu di telaan lebih lanjut, sehingga Viva Joga sepedapat dengan Purwadi Soeprihanto, maupun Hendri Josodiningrat, pembahasan RUU pertanahan, tidak usah buru buru, hingga harus selesai, pada pada periode ini.

Sebab di dalam proses pengkayaan pasal pasal itu hendaknya, melibatkan banyak pihak terkait.

Sebut saja tadi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Pembahasan pasal demi pasal itu harus terbuka, melibatkan banyak pihak, tapi saya masih mendengar, banyak yang belum diundang,” kata Viva Joga.

Sehingga mereka bersuara ke publik, dan merasa curiga, ini siapa yang bermain, ini untuk apa, nah inikan menjadi tidak baik.” ucapnya.

“Jadi itulah beberapa hal pokok menurut saya, yang perlu dipertimbangkan oleh Panja ini, karena ini melibatkan seluruh kementerian, jadi apakah ga lebih baik di Pansuskan saja,” lanjut politikus asal Partai PAN ini.

Memang ini adalah domain komisi II dalam b entuk Panja, tetapi mengingat tanah itu merupakan syarat berdirinya negara sebenarnya, itu seharusnya Panitia Khusus bukan Panja.

“Kalau RUU politik , Pilpres, Pileg itu Pansus , karena ini menyangkut soal tanah, jadi menurut saya pribadi, karena ini melibatkan seluruh stakeholder, dan seluruh kementerian yang terlibat soal tanah baik Kementerian Pertanian, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Energi Sumber Daya Mineral, sehingga sarat dengan kebijakan-kebijakan antara sektoral yang membutuhkan penanganan khusus.”

“Jadi point penting saya soal RUU Pertanahan ini, nanti, sebaiknya Baleg (Badan Legeslatif) DPR RI, mengubah status dari Panja menjadi Pansus, karena melihat urgensi, soal tanah,” pungkas Viva Joga. (*)