Label Kawasan Hutan Mengganggu, Pembahasan RUU Pertanahan Perlu Dilanjutkan

Seharusnya semangat RUU Pertanahan itu adalah memperbaiki pemanfaatan tata ruang. Foto : kabaralam.com
Seharusnya semangat RUU Pertanahan itu adalah memperbaiki pemanfaatan tata ruang. Foto : kabaralam.com

TROPIS.CO, JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kemudian disahkan menjadi UU Pertanahan pada tahun ini sebaiknya dilanjutkan.

Ini sebagai upaya untuk merealisasikan amanat Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Pernyataan itu disampaikan Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan  Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Sudarsono Soedomo menanggapi desakan sejumlah kalangan salah satunya Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) yang meminta agar pengesahan RUU Pertanahan ditunda dan pembahasannya dilanjutkan di periode 2019-2024.

”Jangka waktu penantian selama 18 tahun sebenarnya sudah lebih dari cukup.”

“Jangan sampai regulasi ini senasib dengan saudara tuanya, yakni UU 5 tahun 1960 (UU Pokok Agraria) yang sejak lahir dikerdilkan,” kata Sudarsono di Jakarta, Selasa (16/7/2019).

Menurut Sudarsono, jutaan rakyat Indonesia selama puluhan tahun telah hidup dalam ketidakpastian akibat dari ketidakjelasan status tanah mereka.

“Menunda pengesahan RUU Pertanahan bukan opsi.”

“Sempurnakan segera bila masih ada yang dianggap kurang dan percepat pengesahannya bila mungkin,” tuturnya.

Dia berpendapat, pembenahan masalah pertanahan harus segera dilakukan.

Apalagi, label kawasan hutan sudah sangat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional.

Kegagalan pemanfaatan tanah di Indonesia sudah sangat parah dan bersifat TSM (terstruktur, sistematis, dan masif).

Satu hal yang mungkin tidak disadari oleh banyak kalangan yakni karena rezim penguasaan dua pertiga tanah Indonesia bersifat otoritarianisme.

“Model seperti ini sudah jelas gagal di seluruh dunia.”

“Ke depan, berikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan pilihannya.”

“Bagi yang masih terikat oleh otoritarianisme, pilihannya hanya dua, yakni mendemokratisasi diri atau mati,” ucanya.

Sudarsono menambahkan, ironi dari argumen kemakmuran dan keadilan digunakan untuk menjustikasi penguasaan lahan sebagai kawasan hutan serta penetapan sebagian besar kawasan hutan, terutama di luar Pulau Jawa sebenarnya, tidak sesuai dengan peraturan perundangan.

“Kebohongan tentang kawasan hutan itu terus dihembuskan, bahkan oleh kalangan akademisi, sehingga publik pada umumnya menjadi percaya begitu saja.”

“Banyak orang telah dipenjara akibat kebohongan yang telah dipercaya menjadi kebenaran dan diadopsi menjadi hukum,” katanya.

Di sisi lain, kawasan yang dikuasai mencapai dua pertiga tanah Indonesia, sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya kurang dari satu persen.

“Sangat jauh dari mampu memberi kemakmuran.”

“Apalagi, sekitar 46,6 hingga 47,7 juta hektare kawasan hutan yang diklaim tersebut tidak produktif.”

“Artinya, argumen perlindungan ekologi juga jauh panggang dari api dan merupakan pemborosan sumberdaya alam yang luar biasa,” papar Sudarsono.

Saat ini, dari luas izin penggunaan kawasan, hanya kurang dari 5 persen dinikmati rakyat kecil, sementara lebih dari 50 persen perusahaan besar pemegang izin tidak aktif dan membiarkan arealnya terlantar.

“Terlalu jelas bahwa pemanfaatan lahan berlabel kawasan hutan sangat jauh dari keadilan,” tuturnya.

Pernyataan senada dikemukakan Pengamat hukum kehutanan dan Lingkungan Dr Sadino.

Dia berpendapat bahwa pembahasan RUU tersebut harus dilanjutkan.

“Ada beberapa aturan yang sudah usang dan perlu diperbaharui,” ujarnya.

Semangat RUU pertanahan itu adalah memperbaiki pemanfaatan tata ruang.

Kalau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut ruang kritis 20 persen, apa hal ini hanya menjadi bahan pemberitaan saja, tanpa ada solusi.

Seharusnya, kata Sadino, lahan kritis itu tidak dibiarkan menjadi lahan tidur.

Padahal ada solusi lain, yakni dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan yang terus meningkat.

Apalagi, tantangan yang dihadapi pada masa depan hanya terbatas pada upaya peningkatan produksi tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.

“Tantangan ini bisa dijawab dengan memanfaatkan lahan yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian produktif,” pungkas Sadino. (aby)