APHI : RUU Pertanahan Menimbulkan Ekonomi Biaya Tinggi

Direktuk Eksekutif Asosiasi Perusahaan Hutan Indonesia ( APHI) Purwadi Soeprihanto mengakui, membaiknya tren bisnis perkayuan nasional hingga meningkatnya nilai ekspor, lebih dikarenakan langkah koreksi yang ditempuh Menteri LHK, Siti Nurbaya. Foto : Istimewa
Direktuk Eksekutif Asosiasi Perusahaan Hutan Indonesia ( APHI) Purwadi Soeprihanto mengakui, membaiknya tren bisnis perkayuan nasional hingga meningkatnya nilai ekspor, lebih dikarenakan langkah koreksi yang ditempuh Menteri LHK, Siti Nurbaya. Foto : Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) merespon negatif atas Rancangan Undang Undang Pertanahan yang kini lagi dibahas di Komisi II DPR RI.

RUU Pertanahan berpotensi menimbulkan tambahan birokrasi karena perusahaan pemegang konsesi harus melakukaan penetapan tata batas ulang yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

“Bagi pelaku usaha kehutanan undang undang berpotensi menurunkan daya usaha kehutanan nasional,” kata Purwadi Suprihanto.

Karena itu, Direktur Eksekutif APHI ini, minta agar pemerintah dan DPR meninjau kembali RUU dan ditunda penetapannya karena akan memiliki dampak yang sangat luas.

Sebelumnya, APHI telah bersurat yang ditujukan kepada Ketua DPR RI dan minta agar pembahasan RUU Pertanahan ini ditinjau kembali.

Surat yang ditandatangani Indroyono Soesilo, Ketua umum APHI, tembusannya selain ke Kadin, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Presiden RI Joko Widodo.

Dalam surat tertanggal 2 Juli kemarin itu, APHI memberikan catatan sebagai pokok pandangan dunia usaha kehutanan tentang RUU Pertanahan. Pokok pandangan itu mencakup;

Dalam UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.

Sebagai kesatuan ekosistem, hutan tidak hanya terkait dengan tanah tempat ruang tumbuhnya, tetapi memiliki berbagai fungsi yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi yang harus digunakan secara optimal untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari.

Dengan batasan tersebut di atas, kata Purwadi, hutan sebagai bagian dari sumber daya alam harus dikelola secara khusus (lex specialis), tidak menjadi bagian dari RUU Pertanahan.

Secara yuridis, hal ini diperkuat dengan TAP MPR No. IX/MPR/2001 yang mengatur secara berbeda antara Pembaruan Agraria dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam (termasuk di dalamnya hutan).

Dalam RUU Pertanahan tersebut pada pasal 63, dinyatakan bahwa obyek pendaftaran Tanah meliputi semua bidang Tanah dan kawasan tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Pendaftaran Tanah meliputi : a) Pengukuran, perpetaan dan pembukuan Tanah; b) pendaftaran Hak Atas Tanah dan peralihan hak; c) penerbitan surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Berkaitan dengan tahapan pendaftaran Tanah ini, untuk izin-izin dalam kawasan hutan sesungguhnya telah diatur dalam UU 41 tahun tahun 1999 dan peraturan turunannya, yang meliputi proses penunjukan, penataan, pemetaan dan penetapan batas kawasan hutan. Oleh karenanya, apabila pengaturan dalam RUU Pertanahan tersebut diimplementasikan, akan berdampak luas terhadap ketidakpastian usaha. (*)