KLHK Miliki Instrumen Tangani Konflik Agraria

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Kepala Kantor Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, serta Menteri Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil memberikan keterangan pers selepas rapat membahas konflik agraria dan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Foto : KLHK
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Kepala Kantor Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, serta Menteri Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil memberikan keterangan pers selepas rapat membahas konflik agraria dan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Foto : KLHK

TROPIS.CO, JAKARTA – Pemerintah sangat serius menangani konflik agraria namun diakui hal tersebut juga bukan hal yang mudah.

Dalam rapat koordinasi yang diselenggarakan di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Rabu (12/7/2019), pembahasan mengenai upaya-upaya percepatan penanganan konflik agraria dilaksanakan dengan mengundang beberapa kementerian dan lembaga, termasuk TNI dan Polri.

Rapat ini juga dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, serta Menteri Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR dan BPN) Sofyan Djalil.

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko, dalam keterangan persnya usai rapat menyatakan, tercatat ada 435 kasus agraria yang memiliki dokumen kelengkapan hak atas tanah, tapi ada banyak kasus yang tidak memiliki dokumen sama sekali.

Menurutnya, dari sejumlah kasus tersebut, pemerintah berkomitmen guna mengurai permasalahan yang ada.

Dia menyebutkan, ada 67 kasus yang dalam jangka pendek akan segera diselesaikan oleh pemerintah.

Sementara Menteri LHK Siti Nurbaya menuturkan, berbagai skema sebenarnya bisa dipakai dalam penyelesaian sengketa-sengketa ini.

KLHK telah memiliki instrumen-instrumennya.

Pertama, dapat dipakai instrumen Perubahan Batas Kawasan Hutan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994.

Selanjutnya adalah instrumen pelepasan kawasan melalui Tanah Objek Reforma Agraria serta tukar menukar kawasan hutan, atau pemindahan bila konflik terjadi di kawasan konservasi seperti cagar alam atau taman nasional.

Instrumen berikut adalah penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

Instrumen terakhir adalah Perhutanan Sosial atau instrumen pinjam pakai kawasan.

Menteri Siti mengungkapkan, selama ini ada 320 kasus konflik yang diterima KLHK.

Di Sumatera tercatat ada 201 kasus, lalu Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara 43 kasus, Kalimantan 47 kasus, Sulawesi 13 kasus, Mauluku dan Papua 16 kasus.

Dari kasus yang masuk dan ditangani, ada 45 kasus yang telah dalam tahap mediasi dan 39 kasus dalam tahap kesepakatan dan beberapa kasus lainnya masih dalam tahap “assessment”.

“Saya tadi juga dapat perintah dari KSP untuk segera menyelesaikan 52 kasus konflik agraria dalam kawasan hutan,” ujar Menteri Siti.

Dia juga mengatakan bahwa KLHK telah memiliki daftarnya dan segera akan dilakukan pemeriksaan dan akan dilaporkan ke bagian konflik agraria di Kantor Staf Presiden (KSP).

Beberapa laporan, menurut Menteri Siti, yang masuk ke KSP juga dilaporkan ke KLHK.

KLHK telah melihat daftarnya untuk menghindari tumpang tindih pelaporan.

Pemerintah melihat konflik agraria ini menjadi hal yang sangat serius untuk diselesaikan, seperti konflik masyarakat hutan adat.

Baru-baru ini KLHK telah mengeluarkan peta indikatif kawasan hutan adat sekaligus pengakuan secara definitif kawasan hutan masyarakat adat.

Penyematan nama “definitif”, menurut Menteri Siti, dipengaruhi oleh kerja sama berbagai pihak, seperti Kementerian Dalam Negeri, masyarakat hukum adat yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52, dengan berbagai ketentuan lainnya.

KLHK sebelum menjatuhkan pernyataan definitif juga harus benar-benar menyelesaikan wilayah yang menjadi hak masyarakat hutan adat.

Sejauh ini, kawasan hutan adat yang telah definitif adalah seluas lebih kurang 22.000-an hektare di seluruh Indonesia.

Untuk fase pertama, wilayah indikatif hutan adat yang dilepaskan ada seluas 472 ribu hektare.

Pemerintah menargetkan seluas 6,35 juta hektare kawasan hutan adat lainnya untuk segera diindikatifkan, sambal menunggu penetapan peraturan daerah di beberapa wilayah masyarakat adat di Indonesia.

Menteri Siti Nurbaya juga menyatakan, ada instrumen lain yang akhir-akhir ini diutarakan oleh dunia usaha atau korporasi.

Ia mengakui bahwa korporasi memiliki peranan juga dalam penyelesaian sengketa agraria ini.

Pasalnya, konflik-konflik yang ada saat ini, sebenarnya tidak sehat bagidunia usaha di beberapa kawasan di Indonesia.

Ada bebapa korporasi yang berinisiatif mengeluarkan areal-areal konflik yang ada dalam kawasan izin mereka.

Menteri Siti menyampaikan, skema ini sangat dimungkinkan, dimana KLHK dapat memberikan adendum pengurangan luas kawasan.

“Sudah ada 13 perusahaan, yang meminta addendum untuk mengurangi luas kawasannya guna diserahkan kepada masyarakat.”

“Jadi, kalau di KLHK, kiami adendum izinnya dia, dan kalau kami kumpulkan secara keseluruhan, itu ada sekitar 60 ribu hektare,” pungkas Menteri Siti Nurbaya. (*)