KLHK Bawa Pengembangan HHBK dan Jasa Lingkungan ke Era Industri 4.0

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengajak semua stakeholder terkait guna memaksimalkan potensi HHBK yang belum tergarap dengan baik. Foto : KLHK
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengajak semua stakeholder terkait guna memaksimalkan potensi HHBK yang belum tergarap dengan baik. Foto : KLHK

TROPIS.CO, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong komitmen dan totalitas dari seluruh stakeholders untuk terus menggali dan mengembangkan Multi Usaha Kehutanan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan Jasa Lingkungan (Jasling) seiring dengan perkembangan zaman revolusi industri 4.0.

HHBK dan Jasling merupakan 95 persen dari potensi hutan di Tanah Air yang belum dioptimalkan pemanfaatannya padahal potensinya bersinggungan langsung dengan perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

“Seiring dengan perkembangan zaman revolusi industri 4.0, HHBK dan Jasling dapat menjadi salah satu industri multi bisnis kehutanan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir dan menjadi salah satu tulang punggung baru perekonomian Indonesia dengan tetap melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama,” ujar Menteri LHK, Siti Nurbaya saat membuka kegiatan Kick Off Pengembangan Multiusaha Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan, dengan tema “Pengembangan Usaha Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan Berbasis Masyarakat Menuju Revolusi Industri 4.0” di Auditorium Soejarwo Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Jumat (10/5/2019).

Menteri Siti menjelaskan bahwa bagi pembangunan HHBK dan Jasa Lingkungan, Revolusi Industri 4.0 diarahkan untuk beberapa tujuan strategis seperti masalah kecukupan bahan baku, efisiensi produksi, efesiensi dan efektifitas pasar (market place), fair price dengan basis value chain yang tepat, aspek pembiayaan dan investasi berbasis teknologi (fintech), serta aspek keberlanjutan.

Namun, saat ini pengelolaan HHBK umumnya masih dilakukan hanya dengan mengandalkan hasil tumbuhan secara alami.

Sementara itu Izin Usaha Pemanfaatan HHBK (IUPHHBK) juga masih sangat terbatas, yaitu baru 14 unit IUPHHBK.

Kondisi ini memerlukan perhatian serius pemerintah dan semua stakeholder terkait guna memaksimalkan potensi HHBK yang belum tergarap dengan baik.

Salah satu yang didorong olehnya adalah penyederhanaan pengurusan ijin usaha HHBK.

“Baru 14 unit Ijin usaha HHBK, untuk itu ijin seperti ini harus disederhanakan prosesnya agar ke depan semakin boom, dan meningkat jumlahnya,” pungkas Menteri Siti.

Upaya pembangunan HHBK dan Jasling ini sejalan dengan paradigma baru KLHK dalam melakukan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, yaitu melalui perubahan konfigurasi bisnis dari timber management menjadi forest management, dan dari orientasi korporasi menjadi orientasi multi pelaku usaha.

HHBK sendiri didefinisikan sebagai hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan, seperti contohnya: getah pinus, getah karet, jernang, kemenyan, daun kayu putih, asam, gaharu, damar, sagu, kemiri, rotan, bambu, madu dan lain-lain.

HHBK memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan sehingga menjadi daya tarik bagi pembangunan ekonomi rakyat di pedesaan karena memiliki sifat padat karya dan dapat menciptakan industri kreatif rakyat.

HHBK juga mempunyai keunggulan lain, yaitu dapat dimanfaatkan pada seluruh kawasan hutan, yaitu kawasan hutan lindung, hutan produksi dan kawasan hutan konservasi (kecuali pada cagar alam, zona rimba dan zona inti pada taman nasional).

Guna menandai Kick Off Pengembangan Usaha HHBK dan Jasling Berbasis Masyarakat dalam menuju Revolusi Industri 4.0, dilakukan Launching Market Online HHBK pada Aplikasi Marketplace SHOPEE yang dilakukan oleh Menteri Siti dengan melakukan pemesanan produk Madu Hutan LIMAU yang diproduksi oleh KPH Limau dari Sorolangun Jambi. (*)