Perlu Aturan Agar DBH Adil Untuk Provinsi Penghasil Sawit

Industri kelapa sawit di Kalimantan Selatan sampai dengan saat ini masih normal, baik untuk operasional pabrik dan kebun. Foto: TROPIS.CO/Josnghasil kelapa sawit mestinya diberikan secara proporsional dan adil. Foto : Wisesa/tropis.co
Industri kelapa sawit di Kalimantan Selatan sampai dengan saat ini masih normal, baik untuk operasional pabrik dan kebun. Foto: TROPIS.CO/Jos

TROPIS.CO, PONTIANAK– Pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan mengusulkan pengaturan dana bagi hasil (DBH) bagi provinsi penghasil sawit. Aturan baru ini diperlukan untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan ekonomi daerah.

Usulan ini diungkapkan Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Hadi Mulyadi, dalam Borneo Forum III di Hotel Ibis, Pontianak, Rabu (20/3/2019).

Sutarmidji menyebutkan Kalimantan Barat dengan luasan perkebunan hingga 1,5 juta hektare dan menjadi provinsi terbesar kedua di Indonesia sebagai penghasil CPO seharusnya bisa mendapatkan alokasi dana bagi hasil yang proporsial.

Hal ini mengacu pada UU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebenarnya kebijakan untuk melakukan dana bagi hasil itu dimungkinkan.

“Ini yang akan kami perjuangkan. Jika dana bagi hasil ini dapat direalisasikan, maka pemanfaatannya bisa dikembalikan kepada petani sawit di daerah sebagai bentuk pemberdayaan dan peningkatan kinerja lembaga ekonomi desa terutama sentra sawit di Kalbar,” kata Gubernur Sutarmidji.

Usulan serupa datang dari Hadi Mulyadi, Wakil Gubernur Kalimantan Timur, yang meminta dana bagi hasil untuk diberikan kepada daerah sentra sawit.

Dana ini sangat penting untuk digunakan bagi pembangunan daerah seperti infrastruktur.

“Harus ada dana bagi hasil dengan payung hukum revisi undang-undang keuangan pusat dan daerah,” jelas Hadi.

Sutarmidji juga mengharapkan, industri hilir dapatkan dikembangkan di Kalimantan Barat sehingga masyarakat dapat menikmati harga minyak goreng yang lebih rendah.

“Selama ini nilai tambah terbesar lebih banyak dinikmati pemerintah pusat serta di industri hilir sawit dibandingkan perkebunan sawit yang merupakan industri hulu,” kata Sutarmidji.

Menurut Sutarmidji mengacu pada UU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebenarnya kebijakan untuk melakukan dana bagi hasil itu dimungkinkan.

“Ini yang akan kami perjuangkan. Jika dana bagi hasil ini bisa direalisasikan, pemanfaatannya bisa dikembalikan kepada petani sawit di daerah sebagai bentuk pemberdayaan dan peningkatan kinerja lembaga ekonomi desa terutama sentra sawit di Kalbar,” kata Gubernur Kalbar.

Sementara itu, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis berkelanjutan /FP2SB Achmad Manggabarani bahwa pemerintah pusat perlu mengatur instrumen hukum untuk mengatur alokasi dana bagi hasil sawit.

Formulasi dana bagi hasil dapat diatur melalui RUU Perkelapasawitan ataupun regulasi lainnya seperti Peraturan Menteri Keuangan.

“Selain memberlakukan pola dana bagi hasil di daerah sentra sawit, keberadaan korporasi sawit di daerah harus memberi kontribusi nyata salah satunya dengan mengoptimalkan peran dan fungsi CSR,” ujarnya.

Menurut Achmad Manggabarani, sejauh ini Pemerintah belum membuat aturan apapun terkait dana bagi sawit untuk perkebunan kelapa sawit.

“Salah satu inisatif yang perlu dilakukan adalah pengajuan Rancangan RUU Dana bagi hasil perkebunan sawit. DPR juga punya peran penting untuk menggodok aturan tersebut,” pungkasnya. (*)