Indonesia Sukses Turunkan Konsumsi BPO

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Ruandha Agung Sugardiman optimistis negara berkembang sudah mulai menurunkan konsumsi HFC dalam berkontribusi menjaga temperatur bumi tidak meningkat lebih dari 1,5 Celsius pada tahun 2100 dibandingkan dengan masa pra industri. Foto : KLHK
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Ruandha Agung Sugardiman optimistis negara berkembang sudah mulai menurunkan konsumsi HFC dalam berkontribusi menjaga temperatur bumi tidak meningkat lebih dari 1,5 Celsius pada tahun 2100 dibandingkan dengan masa pra industri. Foto : KLHK

TROPIS.CO, JAKARTA – Kesuksesan Protokol Montreal dalam menurunkan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) telah sangat signifikan dicapai, termasuk kontribusi Indonesia yang telah menurunkan konsumsi BPO, khususnya jenis HCFC (hydro chloro fluoro carbon) dari tahun 2013 sampai 2018 sebesar 124,36 ODP (Ozone Depleting Substances)  ton.

Hal itu disampaikan Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam sambutannya saat membuka Workshop on HFC Enabling Activities Dalam Rangka Implementasi Protokol Montreal di Jakarta, Kamis (28/2/2019).

Menurutnya, kesuksesan itu dapat dicapai dengan mengganti BPO jenis HCFC dengan bahan alternatif yang lebih ramah ozon dan juga ramah terhadap perubahan iklim yang kita kenal sebagai BROCCOLI (bebas bromin, chlorin, dan pro climate).

Walau HFC juga digunakan sebagai salah satu alternatif pengganti HCFC, pemilihan HFC tersebut telah memperhatikan nilai potensi pemanasan global.

HFC yang dipilih adalah yang tergolong ke dalam kelompok nilai potensi pemanasan global yang rendah (lebih kecil dari 750).

Beberapa jenis HFC yang memiliki nilai potensi pemanasan global tinggi, sebelumnya juga sudah digunakan di Indonesia sebagai pengganti Bahan Perusak Ozon (BPO) jenis CFC, antara lain adalah HFC-134a yang banyak digunakan sebagai bahan pendingin di lemari es, AC mobil dan beberapa mesin pendingin bangunan.

HFC-410A yang banyak digunakan sebagai pendingin AC split dan AC komersial dan HFC-404A yang banyak digunakan sebagai bahan pendingin pada gudang pendingin pada industri perikanan.

Hingga saat ini, Panel Teknologi dan Ekonomi (TEAP) Protokol Montreal terus berupaya melakukan penelitian terkait bahan BROCCOLI dan insentif bagi negara–negara berkembang.

“Diharapkan pada tahun 2024, negara berkembang sudah mulai menurunkan konsumsi HFC dalam berkontribusi menjaga temperatur bumi tidak meningkat lebih dari 1,5 Celsius pada tahun 2100 dibandingkan dengan masa pra industri,” ujar Ruandha.

Pada Amandemen Kigali untuk kelompok negara berkembang Grup 1, dimana Indonesia termasuk dalam kelompok tersebut, ditetapkan target penurunan konsumsi HFC di Indonesia adalah freeze pada tahun 2024, penurunan 10% dari baseline pada tahun 2029, 30% dari baseline pada tahun 2035, 50% dari baseline pada tahun 2040, dan 80% dari baseline pada tahun 2045.

Target penghapusan tersebut dapat dicapai dengan adanya alih teknologi pada sektor industri manufaktur maupun jasa.

Pelaksanaan alih teknologi tersebut dipandang perlu mempertimbangkan bahan pengganti HFC yang memiliki harga yang kompetitif dan tersedia secara luas di pasaran.

Kementerian Perindustrian sebagai pembina sektor industri perlu memfasilitasi industri dalam mencari teknologi pengganti HFC agar produk yang dihasilkan industri tersebut tetap kompetitif dan memiliki daya saing dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan keselamatan.

“Dengan adanya workshop ini diharapkan industri mulai memikirkan jadwal penghapusan dan penggunaan teknologi yang tepat sebagai pengganti HFC,” ungkapnya.

Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku National Focal Point Protokol Montreal menyelenggarakan Workshop on HFC Enabling Activities Dalam Rangka Implementasi Protokol Montreal.

Protokol Montreal adalah salah satu perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup yang bertujuan untuk melindungi lapisan ozon.

Protokol Montreal ini telah diamandemen beberapa kali disebabkan karena adanya penambahan ketentuan pengaturan untuk perlindungan lapisan ozon.

Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Protokol Montreal sejak tahun 1992.

Pada Meeting of Parties ke-28, seluruh Negara Pihak Protokol Montreal sepakat untuk mengamandemen kembali Protokol Montreal guna memasukkan pengaturan tentang pengurangan konsumsi hydrob floro carbon (HFC) yang merupakan bahan pengganti dari HCFC.

Oleh karena kesepakatan ini diadopsi pada pertemuan di Kigali, Rwanda, maka penambahan pengaturan HFC pada Protokol Montreal disebut dengan nama Amandemen Kigali.

“Kegiatan workshop ini bertujuan untuk mempersiapkan langkah–langkah Pemerintah Indonesia meratifikasi Amandemen Kigali, seperti persiapan inventarisasi penggunaan bahan HFC  di Indonesia,” pungkas Ruanda.

Persiapan pengaturan tata niaga impor HFC, termasuk pengaturan lisensi impor dan HS Code HFC, serta penetapan baseline konsumsi HFC di Indonesia pada tahun 2020, 2021, serta 2022. (aby)