Kelapa Sawit Lebih Produktif dan Lebih Efisien Dalam Pemanfaatan Lahan

Erik Meijaard, penulis utama studi IUCN, menyatakan tidak ada solusi yang sederhana jika melihat dampak terhadap keanekaragaman hayati yang ditimbulkan oleh kelapa sawit dengan perspektif global. Foto : KLHK
Erik Meijaard, penulis utama studi IUCN, menyatakan tidak ada solusi yang sederhana jika melihat dampak terhadap keanekaragaman hayati yang ditimbulkan oleh kelapa sawit dengan perspektif global. Foto : KLHK

TROPIS.CO, JAKARTA – Komoditas minyak nabati lainnya membutuhkan lahan sembilan kali lebih besar dibandingkan kelapa sawit. Sebagai perbandingan, produksi 1 ton minyak nabati, kelapa sawit memerlukan lahan seluas 0,26 hektare.

Sementara itu, untuk menghasilkan jumlah yang sama, minyak bunga matahari dan kacang kedelai memerlukan lahan masing-masing 1,43 hektare, dan 2 hektare.

Demikian kesimpulan dari hasil studi yang dilakukan Satuan Tugas Kelapa Sawit Internasional Union for Conservation of Nature (IUCN).

Erik Meijaard, penulis utama studi tersebut, menyatakan tidak ada solusi yang sederhana jika melihat dampak terhadap keanekaragaman hayati yang ditimbulkan oleh kelapa sawit dengan perspektif global.

Erik pun menyampaikan bahwa separuh dari populasi dunia menggunakan minyak kelapa sawit dalam bentuk makanan.

Jika penggunaan minyak sawit dilarang atau diboikot maka minyak nabati lainnya yang membutuhkan lahan lebih luas akan menggantikan kelapa sawit.

“Kelapa sawit akan tetap dibutuhkan, dan kita perlu segera mengambil langkah untuk memastikan produksi kelapa sawit yang berkelanjutan, memastikan semua pihak, baik pemerintah, produsen, dan rantai pasok, menghargai komitmen mereka terhadap keberlanjutan,” tuturnya.

Menanggapi hasil studi IUCN tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan bahwa fakta berbasis ilmiah seperti ini diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada publik terkait pengembangan kelapa sawit di Indonesia

“Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi oleh industri kelapa sawit, utamanya di Indonesia, studi ini merupakan permulaan bagus untuk kemudian melahirkan pemahaman yang lebih baik dari berbagai pihak,” ujar Menko Darmin di Jakarta, Senin (4/2/2019).

Dia berpandangan pengembangan kelapa sawit dalam konteks keanekaragaman hayati di Indonesia adalah hal yang kompleks.

Oleh sebab itu, pemerintah terus mengupayakan solusi untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, dengan tetap mengutamakan keberlanjutan lingkungan.

Sementara mewakili Menteri LHK, Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK Agus Justianto menyampaikan studi-studi yang dilakukan di Indonesia sebenarnya sudah banyak.

“Kami menawarkan untuk melakukan diskusi lanjutan dengan KLHK, untuk menyelaraskan dengan hasil-hasil studi kita.”

“Dari sisi biodiversity, mereka tidak menyampaikan data yang cukup banyak dalam hasil studinya. Hal ini bisa didukung dengan hasil studi kita,” jelas Agus.

Salah satu studi KLHK menunjukkan, ternyata di kebun sawit itu banyak ditemukan ular phyton, dan orangutan.

Jenis satwa ini sudah bisa beradaptasi dengan adanya perubahan tutupan lahan menjadi kebun sawit.

“Sekarang tinggal bagaimana mengatur supaya keberadaan mereka itu tidak terancam oleh aktivitas manusia,” kata Agus.

Agus juga menyampaikan sudah ada kebijakan pemerintah yang menjadi corrective action terkait dengan biodiversity.

Misalnya petunjuk pelaksanaan (juklak) dan pengaturan tentang orangutan yang ada di kebun sawit.

Selanjutnya, sosialisasi agar keberadaan ular phyton tidak dianggap sebagai suatu ancaman terhadap masyarakat.

“Yang penting adalah bagaimana bersama-sama melindungi, dan untuk bisa hidup bersama,” pungkas Agus. (*)