Tri Rismaharini : Malu Kalau Kota Saya Kotor

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menerima anugerah Adipura dan Nirwasita Tantra dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kesehatan Siti Nurbaya. Foto : KLHK
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menerima anugerah Adipura dan Nirwasita Tantra dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kesehatan Siti Nurbaya. Foto : KLHK

TROPIS.CO, JAKARTA – Pada perhelatan anugerah Adipura periode 2017-2018 ini selain menyabet trofi Adipura Kencana, Surabaya juga meraih penghargaan Nirwasita Tantra. Ini berkat kerja Sang Wali Kota, Tri Rismaharini yang tak pernah berhenti berinovasi.

Nirwasita Tantra atau Green Leadership Award merupakan penghargaan pemerintah kepada kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dan kepada pimpinan DPRD.

“Penghargaan ini diberikan atas kepemimpinan, pemahaman, dan aktualisasi kepala daerah dalam fungsi politik eksekutifnya atas isu-isu lingkungan, respon kebijakan kepala daerah dalam menjawab persoalan lingkungan, serta inovasi dalam merespon persoalan lingkungan,” papar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dalam acara penganugerahan Adipura 2017-2018, di Gedung Manggala Wanabakti, Senin (14/1/2019).

Selain mempercantik banyak taman di Kota Surabaya, inovasi juga dilakukan Risma dalam layanan transportasi, di mana setiap orang bisa membayar ongkos naik bis menggunakan lima botol plastik.

“Sekarang kita lagi buat joging track dari bekas sandal jepit. Ini sudah sampai satu kilometer.”

“Ini empuk kan karena bekas sandal jepit. Saya juga ambil bekas ban untuk dibuat kursi dan macam-macam. Pokoknya sebanyak mungkin supaya tidak terbuang,” ungkap Risma.

Saat sambutan Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla pun menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Walikota Surabaya, karena dalam keadaan kaki terkilir pun tetap menginspeksi kotanya. “Memang Jatim selalu dapat (penghargaan) ya tiap tahun,” ujar Wapres.

Risma menegaskan bahwa upaya menjaga kebersihan kota bukan untuk penghargaan.

“Saya malu aja kalau kota saya kotor. Kan itu sebetulnya wajah saya,” tuturnya.”

Karena itu ia tak segan turun tangan membersihkan sampah yang ia temui di mana saja. Di mobilnya selalu tersedia sapu, tempat sampah, gunting, pisau, dan sebagainya.”

Melalui contoh itu masyarakat pun tergerak untuk menjaga kebersihan lingkungannya.

Saat ini warga Surabaya setiap minggu kerja bakti membersihkan lingkungan masing-masing, dan Pemkot memfasilitasi untuk pengangkutan hasil kerja bakti tersebut.

Berkat upaya tersebut Surabaya mengalami penurunan berbagai kejadian penyakit secara signifikan, seperti demam berdarah, ISPA, dan diare. Dengan menggerakkan masyarakat, biaya pun lebih murah.

Risma menceritakan bahwa saat ia menjabat Kepala Dinas Kebersihan di tahun 2005, sampah yang masuk TPA rata-rata 3600 ton/hari.

Sekarang volumenya turun setiap tahun sekitar 10 persen, dan sekarang 1300an ton/hari.

Penurunan itu terjadi karena sampah dikelola dengan baik, misalnya sampah organik menjadi kompos.

Kompos ini kemudian digunakan untuk merawat tanaman di taman-taman kota.

Cara ini jauh lebih efisien dibandingkan kalau harus memakai pupuk kimia. Selain itu biaya pengelolaan sampah di Surabaya yang paling besar, 50 persen, adalah untuk pengangkutan.

“Karena kita kelola di awal, biaya pengangkutan sampah di Surabaya turun terus,” ucap Risma lagi.

Ke depan, Risma akan memperbanyak pengelolaan sampah menjadi listrik. Saat ini di Surabaya sudah ada tiga TPS yang mengelola sampahnya menjadi listrik, yang masing- masing kapasitasnya 6 Kilowatt, 4 KW, dan 2 KW. Sementara di TPA sudah menghasilkan listrik 2 Megawatt.

“Tahun ini akan menjadi 11 MW, jadi tambah 9 MW,” pungkasnya.

Listrik ini digunakan untuk penerangan taman-taman. Dampak dari pengelolaan sampah menjadi listrik ini, meskipun penerangan jalan umum banyak ditambah di kampung-kampung, tetapi penggunaan energi listrik di Surabaya bisa diturunkan. (rin)