Lada dan Timah Rakyat Untuk Siapa?

H Usmandie A Andeska (paling kanan) mendengar dan menyampaikan aspirasi masyarakat Bangka dan Belitung. Foto : Istimewa
H Usmandie A Andeska (paling kanan) mendengar dan menyampaikan aspirasi masyarakat Bangka dan Belitung. Foto : Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Perjalanan kampanye saya ke sejumlah desa di Bangka, seakan tak mengembirakan.

Hati terpaut sedih dan sedikit gundah. Dalam perjalanan di tengah larut malam, hati kecil bertanya, mengapa mereka mengeluh, seakan tak ada yang mereka syukuri atas apa yang mereka dapatkan.

Saat berdialog dengan petani, mereka mengeluhkan tentang harga lada, harga sawit dan harga karet yang anjlok drastis.

Mereka seakan ingin menangis tak mengalirkan air mata.

Mereka seakan pasrah dalam kegundahan, harga sawit hanya Rp 400/kg.

Dan itu masih untung, ada kadangkala, pabrik tak mau menampung, dengan alasan di kebun sendiri masih melimpah.

Hasil keringat itu terbuang tak bernilai. Hati mereka seakan menjerit. Ironis memang.

Sementara di pulau tetangga, Belitung, harga masih bertengger di angka Rp1200.

Bahkan terakhir naik menjadi Rp1327/kg. Lantas di mana salahnya, kok suatu provinsi hanya beda pulau, harga sawit berbeda jauh.

Luluh lantak memang. Terlebih saat mereka bercerita tentang harga pupuk yang cenderung naik.

Sementara harga harga produk pertanian, termasuk biji lada, justru terbalik, turun tajam dan seakan sulit merangkak naik.

Terpaksa jual, walau tak untung. Sebab hanya itu yang bisa dilakukan agar dapur menyalah dan kiriman uang kuliah anak di rantau lancar.

Sampai kapan ini? Tak ada yang menjamin. Aparat pemerintah pun, tak pernah turunn memberikan jawaban dalam kalimat penyuluhan.

Mereka sibuk sendiri dengan program rutin demi terserapnya anggaran, biar dinilai berprestasi, mampu memanfaatan pagu anggaran proyek yang sudah diprogam.

Ironis memang. Padahal petani sangat menantikan kehadiran mereka di kebun.

Menanti cerita optimis tentang, kondisi harga esok hari atau bulan dan masa depan. Bercerita tentang mensiati harga disaat anjlok.

Namun kata kata suluh tak terdengar di keheningan hamparan tanaman lada dan kian meningginya tanaman sawit.

Petani dibiarkan sendiri mengatasi persoalan yang kini mereka hadapi.

Ada harga komoditas yang melambung tinggi, konon kini mencapai Rp200.000/kg.

Apa itu lada hitam alias biji timah. Butiran pasir hitam berat ini, belakangan bagai “dewa penolong” bagi perekonomian lokal.

Kendati demikian, itu bukan berarti tak ada masalah. Ternyata lebih parah lagi.

Bila menurut cerita, penambang bekerja dalam bayangan ketakutan.

Saya mencoba mendengar dengan khusus ketika sejumlah penambang bercerita tentang kedatangan sekelompok orang merazia tambangnya.

Mereka terpaksa berlari terbirit birit, menyelamatkan diri.

Bukan hanya takut ditangkap. Diadili, dan kemudian masuk penjara lima hingga enam bulan.

“Bahkan ada yang di atas satu tahun. Kalau kami di penjara, lalu siapa yang memberi makan istri dan anak kami,” ceritanya.

Saya tertegun…merunduk. Hati kecil seakan berkata, ” kalian dikejar karena kalian menambang tak berizin.”

Hanya memang tak sanggup saya melontarkannya. Sebab saya pun menyadari tak mudah mendapatkan izin.

“Kepada mereka, hingga kemudian hanya sempat melontarkan ” Yaa hati hati.”

Ternyata tak hanya penambang yang kerja dalam ketakutan.

Kalangan pengepul timah pun merasakan yang sama.

Terlebih disaat mendengar smelter – industri peleburan timah, dan sejumlah lokasi tambang milik perusahaan swasta, didatangi petugas.

Kabarnya melakukan pendataan. “Ya kata mereka pendataan, mereka kian takut.

Penjualan timah sempat dihentikan. Tapi sejak beberapa kemarin dibuka lagi. Kabarnya, setelah ada pihak yang memiliki kekuatan, mengumpulkan sejumlah kolektor di sebuah rumah makan di kawasan Air Itam.

Hanya memang penjualan tak bebas lagi. Penjualan pasir tidak ke pabrik pengolahan timah, smelter milik swasta.

Tapi harus ke PT Timah. Selain ke PT Timah dianggap ilegal. Menyelundup.

Tidak masalah. Itu memang yang diharapkan. Pengelolaan potensi timah Bangka Belitung, cukup PT Timah, perusahaan negara. Sehingga kondisi penyalurannya terkontrol.

Lantas smelter swasta mati. Tampaknya ada ke arah itu. Terutama smelter yang hanya punya IUP tambang abal-abal. Mereka tidak akan dapat sumber bahan baku. Selesai!

Tidak. PT Timah hanya dipakai nama saja. Di Belakang PT Timah konon ada lima smelter besar.

Mereka inilah yang disebutkan sebagai pengendali perdagangan biji dan balok timah.

Sejauhmana kebenaran kabar ini. Tentu harus ditelusuri lebih dalam.

Apa betul PT Timah hanya faktur pembelian saja? Lalu kemudian setelah menjadi balok timah mereknya PT Timah dipakai sehingga ekspor hanya satu merek.

Setidak itulah kabar yang berkembang. Kelima smelter besar yang konon dimotori RBT kini berstatus mitra PT Timah.

Konon ini sudah menjadi panas di kalangan pemain timah. Pasalnya, ada ketidak adilan dengan tidak dilibatkan smelter lain yang juga punya tanggungjawab terhadap tenaga kerja.

Pada awalnya saya tak mau peduli dengan info yang kudapat.

Sebab misi turun ke desa desa hanya bersilaturahmi sekaligus sosialisasi.

Hanya sebatas itu tujuannya dengan harapan, andaikata mereka memilihku dan saya terpilih menjadi anggota DPR RI utusan PKS dari Bangka Belitung, ini berarti harus menjadi tanggung jawab saya dan harus diperjuangkan agar terjadi perubahan lebih baik.

Hanya persoalannya, naluri wartawan tak bisa dibohongin.

Jari jemari lentik seakan “gatal” kalau tak menari menari.

Apa lagi apa yang disampaikan oleh masyarakat itu suatu hal yang sangat mendesak untuk ditemukan solusinya.

Bukan hanya persoalan harga komoditas pertanian tapi juga soal pertimahan Bangka Belitung tang sudah hampir 380 tahun menjadi urat nadi ekonomi masyarakat Bangka Belitung.

Soal timah ini bagiku suatu yang saat prioritas untuk ditemukan langkah konkrit, agar kandungan timah yang tersisa ini bisa menjadi penggerak percepatan perumbuhan ekonomi daerah disaat harga komoditas pertanian yang diorientasikan sebagai substitusi timah dalam masa lima hingga 10 tahun mendatang.

Karenanya pemanfaatan timah ini harus ditatakelola ulang agar timah menjadi milik masyarakat Babel.

Bukan milik segelintir orang atau cukong. Maaf saya menggunakan kata cukong terhadap pengusaha smelter karena saya tak menemukan kata yang pas selain kata cukong.

Dan saya tak ingin timah ini hanya dinikmati segelintir orang yang berbaju seragam.

Timah masih milik orang Bangka Belitung. Sejatinya harus dinikmati semua masyarakat Bangka Belitung.

Tidak seperti selama, masyarakat hanya menjadi buruh kasar yang keringatnya dihargai rendah.

Dan saatnya kita melakukan evaluasi atas kebijakan pemanfaatan potensi timah yang tersisa ini.

Sehingga nilai ekonomi dari timah menjadi pemicu dalam mempercepat pengembangan potensi pertanian, perikanan, kelautan, serta pariwisata.

Tidak sebatas melalui hamparan kaca android ini, suara masyarakat kampong itu saya publikasikan, tapi juga sudah saya sampaikan kepada gubernur dengan harapan ada solusi jitu, hingga persoalan ekonomi masyarakat ini terus bergulir dalam kecerahan.

Bukankah lada dan timah adalah milik orang Bangka Belitung karena harus memberikan kedejahteraan untuk masyarakat Bangka Belitung.

*) H Usmandie A Andeska, Wartawan, Caleg DPR RI Utusan Bangka – Belitung