Greenpeace Halangi Indonesia Capai SDGs

Perkebunan kelapa sawit tidak menjadi penyebab deforestasi di Indonesia. Foto : Wisesa/TROPIS.CO
Perkebunan kelapa sawit tidak menjadi penyebab deforestasi di Indonesia. Foto : Wisesa/TROPIS.CO

TROPIS.CO, JAKARTA – Industri sawit memainkan peran penting dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya membantu mengurangi angka kemiskinan, peningkatan kesehatan, memberikan pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, serta penanganan perubahan iklim.

Karena itu, semua pihak termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Greenpeace yang mengklaim diri bagian dari Indonesia patut menghormati tujuan pembangunan berkelanjutan yang salah satunya mengatur tata cara dan prosedur masyarakat yang damai tanpa kekerasan, nondiskriminasi, partisipasi, tata pemerintahan yang terbuka serta kerja sama kemitraan multi pihak.

Pendapat itu dikemukakan Peneliti Pusat Litbang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Chairil Anwar Siregar, Pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Sudarsono Soedomo dan Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), serta Bhima Yudhistira di Jakarta, Rabu (28/11/2018).

Chairil berpendapat, kampanye positif jauh lebih beretika, edukatif, serta mendapat dukungan banyak pihak untuk ikut terlibat.

“Cara Greenpeace menaiki kapal cargo asing dengan mengatasnamakan aksi damai lebih terkesan sebagai perompak.”

“Cara seperti ini harus ditinggalkan karena tidak membawa perbaikan serta tidak penting bagi bangsa kita,” kata Chairil.

Kampanye lingkungan seharus mengarah pada edukasi positif agar berdampak bagi perbaikan lingkungan.

Apalagi, industri sawit punya komitmen dan konsisten melakukan perbaikan dalam segala aspek termasuk lingkungan.

“Kalau tujuannya perbaikan lingkungan, banyak cara bisa dilakukan seperti berdiskusi dengan pihak-pihak yang mereka ragukan dengan difasilitasi pihak ketiga.”

“Cara ini lebih beradab dan memberikan solusi jangka panjang,” kata Chairil.

Dia menilai, diskusi juga bisa menjadi cara organisasi lingkungan untuk mempunyai persektif lain mengenai perbaikan dan pemanfaatan lingkungan.

Ia mencontohkan, terkait emisi, hutan dan perkebunan sawit bisa dikomparasi.

Hutan alam umumnya mempunyai biomass 400 ton dan menghasilkan karbon 200 ton per hektare.

Perkebunan sawit umur 10 tahun hanya menghasllkan biomas sebesar 100 ton per hektare.

“Secara kasat hutan alam menghasilkan karbon lebih besar namun statis.”

“Sedangkan, CPO yang dikeluarkan perkebunan sawit mampu menghasilkan karbon 30 ton per ha per tahun,” tutur Chairil.

Menurutnya, jika dikalikan 10 tahun saja, maka dihasilkan 300 ton.

Kalau dijumlahkan karbon yang dihasilkan kebun sawit sama nilainya dengan hutan alam yang masih bagus.

“Karena itu, saya menyarankan, hutan alam itu, sudah rusak sebaiknya ditanam sawit.”

”Ini lebih baik dan produktif daripada hutan dibiarkan menjadi open acces,” jelas Chairil.

Sementara pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Sudarsono Soedomo sepakat bahwa sebagian besar LSM asing di Indonesia tidak mematuhi prosedur dan aturan.

LSM kerap melontarkan tuduhan tanpa risiko yang sepadan. Kebanyakan mereka bermain dua kaki.

Pertama sebagai alat pemerasan, sedangkan kaki lain dimanfaatkan untuk menjadi konsultan bagi perusahaan yang mereka tekan.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah tegas dan tidak berkompromi.

“Investigasi perlu dilakukan terhadap Greenpeace, serta LSM lain untuk mengetahui kepatuhan terhadap hukum Indonesia,” ujarnya.

Lantas Bhima menyarankan kampanye hitam harus cepat ditangani agar dampaknya tidak meluas terhadap neraca perdagangan dan investasi luar negeri.

Apalagi, Indonesia terus mengalami defisit perdagangan sejak beberapa tahun terakhir.

“Pembiaran terhadap maraknya kampanye hitam bisa mengakibatkan nasib sawit akan seperti komoditas rempah-rempah yang sekarang hanya kita dengar cerita kejayaannya saja,” ucap Bhima.

Dalam perdagangan global, persoalan hambatan dagang dan kampanye hitam terhadap CPO dapat dipetakan ke dalam beberapa isu.

Di Amerika Serikat, isu dumping dan persaingan biofuel lebih mendominasi.

Sementara itu, di Uni Eropa, sawit dihadang persoalan lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Perlu lobi intensif agar persoalan itu, tidak dipolitisasi menjadi kampanye hitam,” pungkas Bhima. (*)