WWF Dampingi Petani Sawit Sintang Guna Raih Sertifikasi RSPO

Petani mandiri perlu diedukasi mengenai prinsip-prinsip keberlanjutan dengan mengutamakan intensifikasi lahan kelapa sawit untuk meniadakan deforestasi akibat pembukaan lahan baru. Foto : Jos/tropis.co
Petani mandiri perlu diedukasi mengenai prinsip-prinsip keberlanjutan dengan mengutamakan intensifikasi lahan kelapa sawit untuk meniadakan deforestasi akibat pembukaan lahan baru. Foto : Jos/tropis.co

TROPIS.CO, SINTANG – World Wildlife Fund (WWF) Indonesia mendampingi kelompok petani swadaya Rimba Harapan untuk menerapkan prinsip pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan menuju sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Koperasi Produksi Rimba Harapan yang didirikan pada April 2014 merupakan gabungan tujuh kelompok tani yang ada di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

“Kami menargetkan pada 2020 Rimba Harapan akan mendapat sertifikat RSPO,” kata Market Transformation Coordinator WWF Indonesia Muhammad Munawir kepada beberapa wartawan peserta media trip di Sintang, Kamis (22/11/2018) malam.

Selain RSPO, para petani Rimba Harapan juga diarahkan memenuhi standar sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sifatnya wajib bagi seluruh produsen kelapa sawit di Tanah Air.

Dengan luas kebun 358,33 hektare dan 155 orang petani, Rimba Harapan dapat memproduksi 400 ton tandan buah segar (TBS) per bulan.

Namun dari total luas kebun tersebut, yang ditargetkan untuk mendapat sertifikat RSPO yaitu 193,92 hektare dengan 88 orang petani.

Rimba Harapan diharapkan menjadi daerah percontohan pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan bagi para petani mandiri di Sintang.

Petani mandiri perlu diedukasi mengenai prinsip-prinsip keberlanjutan dengan mengutamakan intensifikasi lahan kelapa sawit untuk meniadakan deforestasi akibat pembukaan lahan baru.

“Tantangannya adalah mendisiplinkan petani supaya bisa menerapkan prinsip budidaya yang berkelanjutan, dengan begitu pendapatan mereka akan bertambah meskipun luas lahannya tetap,” ujar Munawir seperti dikutip Antara.

Tingkat pendidikan petani yang bervariasi dengan lebih banyak didominasi tamatan sekolah dasar, diakui pengurus Rimba Harapan menjadi tantangan terberat untuk mengubah pola pikir para petani mandiri menuju ke arah keberlanjutan.

Selain itu, tantangan lain yang dihadapi petani mandiri adalah produktivitas yang jauh dari standar kuota TBS yang bisa dijual ke perusahaan pengolah kelapa sawit sehingga mengakibatkan harga TBS jatuh.

“Dengan gabungan tujuh kelompok tani saja produktivitas kami tidak sampai 400 ton per bulan, sedangkan target kuota minimal TBS dibeli perusahaan dengan harga yang ditetapkan pemerintah sebanyak 1.000 ton per bulan,” ujar Sekretaris Rimba Harapan Maryono.

Karena itu petani Rimba Harapan sedang mengembangkan berbagai komoditas alternatif seperti jambu kristal, pisang nipah, kakao, dan ayam kampung unggul, untuk mengisi pendapatan petani jika harga TBS turun. (*)