Sertifikasi ISPO Bukti Praktik Bisnis Sawit Dikelola dengan Prinsip Keberlanjutan

Gapki dan Japbusi siap bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan ketenagakerjaan di industri kelapa sawit. Foto : Wisesa/tropis.co
Gapki dan Japbusi siap bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan ketenagakerjaan di industri kelapa sawit. Foto : Wisesa/tropis.co

TROPIS.CO, NUSA DUA – Sertifikasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) dibangun sebagai sebuah sistem yang dapat meningkatkan keberlanjutan sekaligus membuktikan bahwa praktik bisnis minyak kelapa sawit di Tanah Air dikelola dengan sangat baik serta sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.

Pernyataan tersebut disampaikan Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Menko Perekonomian Republik Indonesia, saat menjadi pembicara di hari kedua 14th Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) & 2019 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Jumat (2/11/2018).

Menurut Musdhalifah, sertifikasi ISPO membuktikan bahwa Indonesia aktif dalam pengembangan kualitas lingkungan hidup, ekonomi dan sosial, peningkatkan tingkat penerimaan dan daya saing baik di pasar domestik maupun internasional.

Sertifikasi ISPO juga jadi bukti kontribusi industri kelapa sawit ke dalam Indonesia Nationally Determined Contributions (NDC) yang telah dicanangkan pada 2015 di COP 23 Paris, Prancis.

Beberapa perbedaan antara ISPO yang diperkuat dengan ISPO yang berlaku saat ini adalah adanya keterlibatan NGO dan auditor independen dalam menciptakan transparansi operasional.

ISPO nanti juga akan memiliki prinsip-prinsip, kriteria dan indikator-indikator yang lebih rinci sebagai sebuah standar pemenuhan penilaian, adanya reformasi organisasi dan prosedur sertifikasi yang melibatkan NGO sebagai pengawas independent.

Musdhalifah berpandangan, ISPO akan diatur dalam peraturan presiden. Sistem yang dapat menunjukkan keberlanjutan manajemen dari masyarakat ke industri juga terus ditingkatkan.

Terkait dengan Sustainable Development Goals (SDGs), ada empat aspek dan delapan prinsip atau kriteria yang lebih ditekankan.

Keempat aspek tersebut adalah aspek legal, ekonomi, sosial dan budaya, serta lingkungan hidup.

Sementara kedelapan kriteria yang diukur adalah legalitas usaha perkebunan, manajemen perkebunan, perlindungan dan pemanfaatan hutan dan lahan gambut, manajemen dan pengawasan lingkungan hidup, pertanggungjawaban terhadap buruh, tanggung jawab sosial dan memberdayakan perekonomian komunitas, peningkatan keberlanjutan bisnis, serta pelacakan rantai pasokan.

“Ke delapan prinsip tersebut berkontribusi kepada pemenuhan target SDGs,” ujarnya.

R. Aziz Hidayat, Ketua Sekretariat ISPO, menyampaikan bahwa kebijakan standardisasi ISPO merupakan kebijakan yang mendukung percepatan agenda SDGs di tahun 2030.

Beberapa poin itu diantaranya; mengangkat seluruh masyarakat dunia keluar dari zona kemiskinan dan kelaparan; meningkatkan kualitas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan; keterjangkauan dan clean energy; pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi; industri, inovasi, dan infrastruktur; mereduksi ketimpangan sosial; bertanggungjawab terhadap aktivitas konsumsi dan produksi; climate action; serta partnership dan kolaborasi dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Pada kesempatan itu, Azis juga menyampaikan bahwa hingga saat ini, ISPO telah memiliki 15 badan sertifikasi dengan jumlah Auditor ISPO mencapai 1.470 orang.

Berdasarkan data statistik, sepanjang tahun 2013-2018 total perusahaan dan petani yang telah melakukan sertifikasi ISPO telah mencapai 413 yang meliputi 407 sertifikasi perusahaan, tiga petani plasma, dan tiga petani mandiri. (*)