Teknologi Biorefineri Dukung Kebijakan Mandatori B20

Proyek penelitian Biorefineri ini sangat penting karena sangat mendukung program pemerintah yang diterbitkan Kementerian ESDM tentang mandatori B20. Foto : gastroahotel.cz
Proyek penelitian Biorefineri ini sangat penting karena sangat mendukung program pemerintah yang diterbitkan Kementerian ESDM tentang mandatori B20. Foto : gastroahotel.cz

TROPIS.CO, BOGOR – Teknologi Biorefineri yang dikembangkan secara terpadu oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Badan Kerja Sama Internasional Jepang atau JICA dapat mendukung kebijakan pemerintah yakni mandatori B20.

“Proyek penelitian Biorefineri ini sangat penting karena sangat mendukung program pemerintah yang diterbitkan Kementerian ESDM tentang mandatori B20,” kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Prof Enny Sudarmonowati, usai pembukaan simposium internasional kelima ISIBio 2018, di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (10/10/2018).

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan optimalisasi penggunaan biofuel untuk sarana transportasi non-public service obligation (PSO) yang wajib menggunakan bahan bakar minyak jenis solar dicampur 20 persen komponen biofuel berbahan dasar minyak nabati (B20).

Enny mengatakan, kebijakan ini bahkan akan ditingkatkan tidak lagi 20 persen tetapi 23 persen di tahun 2025, dan 31 persen di tahun 2050.

Guna mendukung kebijakan itu dibutuhkan pasokan biofuel yang stabil.

Menjawab hal itu, LIPI sudah selama lima tahun ini mengembangkan teknologi biorefineri terpadu berbasis biomasa non-pati yang memiliki nilai efisiensi ekonomi.

Salah satu hasil penelitian dari penggunaan teknologi Biorefineri adalah pemanfaatan biomasa sebagai energi alternatif dari industri kepala sawit dan tebu untuk menghasilkan bioethanol dan bioplastik.

Persoalan selama ini, produksi bioethanol menggunakan enzim sebagai katalisator (biokatalis) yang 100 persen diperoleh dari impor.

Impor enzim kebanyakan dari India dan Cina dengan harga bervariasi mulai dari lima dolar Hong Kong per liter.

“Sampai saat ini enzim yang diperlukan masih merupakan produk impor sehingga berpengaruh di biaya produksi,” ujarnya.

Melalui penelitian Biorefineri terpadu yang dilakukan oleh LIPI di Universitas Kobe, Jepang, mampu menghasilkan enzim kasar yang dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan enzim impor.

Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, DR Yopi Sunarya mengatakan, Indonesia sudah mampu memproduksi enzim dengan kualitas kasar dan untuk bisa memproduksi enzim secara massal tergantung dari perusahan yang mau membuat industri baru.

“Saat ini baru ada satu industri yang sudah berjalan memproduksi enzim. Kami sebagai peneliti bisa menyediakan isolat, mikroba terbaik, sampai ke paket teknologinya jika ada industri yang mau memproduksi enzim,” ungkap Yopi.

Penelitian Biorefineri terpadu yang dilakukan LIPI bersama Kobe Universitas melalui program JST-JICA SATREPS Project telah berjalan selama lima tahun, berbagai capaian telah dihasilkan secara memuaskan.

Setidaknya ada lima target yang telah dihasilkan.

Enny menjelaskan bahwa kelima target tersebut yakni pengembangan teknologi ‘biotreatment’, tentang enzim, permentasi, polimerisasi dan studi kelayakan.

Project ini juga telah mengabdikan tiga paten kolaborasi antara peneliti LIPI dan Kobe University.

“Keunggulan dari projek ini adalah menghasilkan insinyur mikroba atau super mikroba untuk meningkatkan efisiensi bioethanol, yang keunggulannya berasal dari mikroorganisme lokal kita,” ujar Enny.

Prof Chiaki Ogino dari Kobe University selaku pimpinan proyek SATREPS Japan Side menambahkan, hasil lain dari projek pengembangan teknologi bioremediasi adalah dari sisi lingkungannya.

“Teknologi yang kita hasilkan ini ramah lingkungan, mungkin di awal kita membayar mahal, tapi membayar mahal untuk masa depan yang lebih baik, lebih ramah lingkungan,” pungkas Ogino. (*)