Teknologi Bioremediasi dan Revegetasi Mampu Selamatkan Lingkungan

Penerapan teknologi bioremediasi dan Revegetasi diyakini menjadi solusi penyelamatan lingkungan. Foto : Antara
Penerapan teknologi bioremediasi dan Revegetasi diyakini menjadi solusi penyelamatan lingkungan. Foto : Antara

TROPIS.CO, BOGOR – Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Witjaksono mengatakan penerapan teknologi Bioremediasi dan Revegetasi diyakini menjadi solusi penyelamatan lingkungan.

Teknologi itu diperlukan untuk mengatasi dampak buruk dari laju industri dan semakin meningkatnya aktivitas manusia menambah pelik masalah kerusakan lingkungan.

“LIPI memberikan perhatian khusus untuk riset bioremediasi dan revegetasi sebagai solusi penyelamatan kerusakan lingkungan,” ucap Witjaksono dalam Simposium internasional tentang Bioremediasi, Revegetasi, Biomaterial dan Konservasi (ISBIORE) 2018 di Gedung Kusnoto LIPI, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/9/2018).

Menurutnya, bioremediasi adalah pemanfaatan mikroorganisme untuk membersihkan senyawa pencemar dari lingkungan.

Bioremediasi bisa memakai tumbuhan, dapat juga memakai mikroorganisme.

Pada simposium kali ini, pembahasan menggunakan mikroorganisme yang mempunyai enzim yang bisa mengubah pencemaran seperti logam, menjadi terikat, terserap dan sebagainya.

“Juga tanaman, ada yang mampu menyerap logam berat dalam jumlah yang tinggi, lalu diakumulasikan dalam tubuh tanamannya, kalau kemudian tanaman itu dipanen maka logam beratnya ada di dalam tubuh tanaman,” tutur Witjaksono.

Penerapan teknologi ini, lanjutnya, bagaimana logam berat yang ada di dalam tubuh tanaman dikelola, diurusi supaya tidak kembali lagi ke dalam tanah.

Ia mencontohkan model teknologi ini penggunaan enceng gondok yang memiliki kemampuan menyerap logam berat dalam air dengan jumlah yang sangat tinggi.

“Kalau kita tanami enceng gondok secara terkendali, sebetulnya airnya menjadi bagus, bersih dari pencemaran, itu sudah ada penelitiannya,” ungkapnya.

Dia mengatakan, supaya teknologi tersebut bisa menjadi teknologi yang diterapkan ke masyarakat, harus ada langkah-langkah bagaimana mengelolanya.

Contoh penerapan teknologi ini pada kasus Kali Sentiong atau Kali Item yang terjadi polutan, dilakukan penebaran mikroba yang menyerap, dan menggumpal kan sehingga kali menjadi bersih menjadi Bioremediasi.

Sementara itu, teknologi Revegetasi adalah upaya pemulihan tutupan lahan pada ekosistem melalui penanaman jenis tanaman asli pada fungsi lindung atau dengan jenis tanaman lainnya yang adaptif.

“Kita punya banyak lahan yang ditambang itu, tanamannya hilang, setelah selesai ditambang, harusnya ditanam lagi,” jelas Witjaksono.

Menanam di lahan bekas tambang tidaklah mudah, karena haranya hilang, dan habis.

Oleh karena itu, revegetasi harus melibatkan pengayaan.

Kondisi tanah bekas tambang terjadi perubahan komposisi, ada beberapa kemungkinan, ada yang konsentrasi logam berat, sedangkan logam hara yang diperlukan tanaman mungkin tidak ada, sehingga yang ada beracun, kondisi ini harus diubah.

Mengubahnya secara bertahap, memang ada tanaman yang tidak perlu hara yang tinggi.

Tanaman ditanam dulu, kalau tidak bisa tumbuhan, tanamannya direkayasa diberi pupuk organik dan semacamnya.

Semakin peliknya masalah lingkungan seperti pencemaran sungai, sampah yang tidak tertangani, dan lahan kritis akibat penambangan membutuhkan adanya teknologi tinggi untuk menyelamatkan lingkungan sebelum terlambat.

LIPI sebagai pengemban tugas negara di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, memberi perhatian khusus untuk riset bioremediasi dan revegetasi sebagai solusi penyelamatan kerusakan lingkungan dengan menggelar International Symposium on Bioremediation, Revegetation, Biomaterial and Conservation (ISBIOREV-2018).

Penyelenggaraan ISOBIOREV-2018 menghadirkan ahli-ahli teknologi bioremediasi dan revegetasi terkemuka di dunia.

“Mereka akan membahas aspek adaptasi sistem remediasi dan revegetasi terhadap perubahan iklim,” tutur Witjaksono.

Simposium ini juga para ahli membahas perspektif internasional tentang teknologi hijau, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan bioremediasi dan revegetasi di berbagai wilayah di dunia.

Salah satu ahli dari Tottori University, Jepang, Norihiro Shimamura, menjelaskan tentang teknik revegetasi menggunakan interaksi antara mychorrhiza dengan tumbuhan tingkat tinggi.

Ahli revegetasi dan ektomikroiza dari Tottori University Jepang ini berhasil mengawinkan Ektomikoriza sehingga interaksinya dengan tanaman akan menyebabkan tanaman lebih tahan terhadap salinitas dan kondisi ekstrim.

Ahli berikutnya, Profesor Toshiaki Umezawa, dari RISH Kyoto University, Jepang, menyajikan teknik pemanfaatan lahan kritis terutama alang-alang untuk produksi energi berbasis biomasa.

Pembicara berikutnya Prof Ng Wu Jern dari Nanyang Technological University, mengemukakan teknologi terkini dalam pengolahan limbah di Singapura dan bagaimana menghubungkan riset dan aplikasinya di lapangan.

Sementara itu, dari LIPI diwakili oleh Prof I Made Sudiana yang membahas peran mikroorganisme dalam proses bioremediasi dan revegetasi yang telah diterapkan di lahan tambang, lahan marginal dan tumpahan minyak di laut.

Menurut Witjaksono, penerapan teknologi bioremediasi dan revegetasi membutuhkan kerja sama jaringan riset antara akademisi, pemerintah, dan industri.

“Kombinasi ilmu pengetahuan dan kemampuan teknis dari industri serta kebijakan manajerial yang strategis akan menghasilkan inovasi penyelamatan lingkungan yang efektif dan berkelanjutkan di semua lini,” pungkasnya. (*)