Pemerintah Mesti Hati-Hati Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir

PLTN belum diwacanakan dalam waktu dekat karena selain bukan prioritas, faktor ekonomi juga menjadi bahan pertimbangan. Foto : Meta Online
PLTN belum diwacanakan dalam waktu dekat karena selain bukan prioritas, faktor ekonomi juga menjadi bahan pertimbangan. Foto : Meta Online

TROPIS.CO, MEDAN – Pemerintah diminta berhati-hati dalam membangun energi baru khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) agar tidak menjadi masalah khususnya dengan lingkungan dan masyarakat.

“Pembangunan energi baru harus mempertimbangkan banyak aspek. Tidak hanya teknis, tetapi juga lainnya seperti sosial dan ekonomi masyarakat,” ujar mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro di Medan, Selasa (25/9/2018), dalam seminar Pengelolaan Sumber Daya Energi Yang Berkelanjutan untuk Ketahanan Nasional.

Ia menyatakan bahwa kehati-hatian dibutuhkan mengingat adanya wacana penggunaan bahan bakar nuklir untuk mengatasi masalah kelistrikan.

Purnomo mengisahkan tentang studi kasus tentang rencana pembangunan PLTN di Gunung Muria yang mendapat penolakan kuat dari masyarakat yang menyebabkan rencana tersebut tidak dapat dieksekusi.

Pasca gempa Fukushima, kehati-hatian dan studi komprehensif harus menjadi pijakan utama pemerintah untuk memutuskan langkah selanjutnya.

“Dulu Dirjen di ESDM dikejar-kejar sama masyarakat Muria dan ternyata di Gunung Muria sering terjadi gempa sehingga diputuskan pembangunan PLTN dibatalkan,” ujarnya.

Purnomo menyebutkan bahwa energi nuklir di dunia saat ini juga menurun persentase pembangunannya.

Dengan demikian, pembangunan PLTN di Indonesia jangan tergesa-gesa.

“Ingat, posisi nuklir dalam KEN (Kebijakan Energi Nasional) merupakan opsi terakhir,” ucap Purnomo.

Sementara Sekjen Dewan Energi Nasional, Saleh Abdurrahman, menyebutkan, pemerintah pada tahun 2025 menargetkan akan menggunakan energi terbarukan (angin, air, dan tata surya) sebesar 25 persen.

Tahun 2025, Indonesia sudah menggunakan energi terbarukan sebesar 25 persen dari yang sekarang hanya enam sampai tujuh persen,” katanya.

Saleh menuturkan bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang banyak.

“Potensi matahari dan angin belum dimanfaatkan sebesar-besarnya. Apalagi tren harga energi terbarukan semakin menurun,” ucap Saleh.

Saleh menegaskan, khusus untuk PLTN belum diwacanakan dalam waktu dekat karena selain bukan prioritas, faktor ekonomi juga menjadi bahan pertimbangan.

“Biaya pembangkit nuklir per kWh itu termasuk mahal. Apalagi ditambah biaya dari kemungkinan resiko kecelakaan,” ujarnya.

Pakar energi terbarukan, Febby Tumiwa, menyebutkan bahwa Indonesia berada di daerah pusat gempa.

Pada tahun 80-an ada wacana pembangunan PLTN di Muria, tetapi setelah tsunami dan gempa di Yogyakarta pada 2006 dan di lakukan studi ulang, ternyata ditemukan sesar atau patahan di Muria.

“Untuk itu pembangunan PLTN harus sangat hati-hati,” pungkas Febby. (*)