Kementerian ESDM Awasi Implementasi B20

TROPIS.CO, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperketat pengawasan pelaksanaan biodiesel 20 persen (B20). Mekanisme pengawasan yang ditempuh berupa silent audit.

Pengawasan ditujukan kepada sektor yang diwajibkan menggunakan B20 seperti badan usaha penyedia Bahan Bakar Minyak Public Service Obligation (BBM PSO), sektor transportasi non PSO, industri, pertambangan, hingga ketenagalistrikan.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Komservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana menyampaikan dengan mekanisme tersebut ESDM melakukan pemeriksaan secara tiba-tiba.

“Sesuai namanya, jadi kapan tim akan datang mengaudit, tidak akan ada pemberitahuan sebelumnya.”

“Timnya ada atau tidak, masyarakat tidak ada yang tahu, tapi akan ada yang bergerak sampai ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU),” tegas Rida di Jakarta, Senin (3/9/2018).

Rida menambahkan, audit yang dilakukan tidak hanya kepada Badan Usaha penyedia BBM, tetapi juga pemasok B20 (BU Bahan Bakar Nabati).

Terkait pelaksanaan B20 yang sudah berjalan sejak tahun 2016 ditegaskan tidak ada keluhan dari sektor yang telah mengimplentasikan selama 2,5 tahun ini.

Sejak dilaksanakan dua tahun lalu yang berjalan baik hanya di sektor PSO dan Pembangkit Listrik, karena harganya disubsidi dengan dana Badan Pengolola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang salah satu tugasnya adalah memberi insentif untuk menutup selisih kurang antara harga indeks pasar (HIP) Solar dan HIP Biodiesel.

“Perluasan insentif biodiesel ke sektor Non PSO ini diharapkan dapat meningkatkan penyerapan domestik biodiesel yang berdampak pada meningkatnya penghematan devisa negara dan stabilisasi harga crude palm oil (CPO),” jelas Rida.

Rida melanjutkan, dengan adanya perluasan insentif biodiesel ke sektor Non PSO, maka proyeksi penyerapan biodiesel untuk sektor PSO maupun Non PSO tahun 2018 sebesar 3,92 Juta kilo liter (KL) dengan potensi penghematan devisa sebesar US$2,10 miliar atau sekitar Rp31,1 triliun.

Rida menjelaskan, B20 ini aman untuk mesin sepanjang pengolahannya sesuai standar yang diterapkan. Pemerintah, kata dia, juga akan mengawasi pengolahan B20 tersebut.

“Aman, sepanjang mereka kualitasnya, mereka melakukan blending SOP yang kita keluarkan, bagaimana storingnya, kalau standar nggak masalah, buktinya kereta api nggak masalah,” ungkapnya.

“Pemerintah akan terus mengupayakan perbaikan teknologi, infrastruktur, serta penerapan SNI (Standar Nasional Indonesia) produk biodiesel agar pelaksanaan kebijakan ini dapat berjalan semakin optimal,” tutur Rida lagi.

Selain melakukan pengawasan yang ketat dtegaskan pula bahwa sejak 1 September lalu tidak akan ada lagi produk B-0 di pasaran.

Keseluruhannya berganti dengan B20. Apabila BU BBM tidak melakukan pencampuran, dan BU Bahan Bakar Nabati (BBN) tidak dapat memberikan suplai Fatty Acid Methyl Ester (FAME) ke BU BBM akan dikenakan denda yang cukup berat, yaitu Rp6.000,00 per liter.

Beberapa pengecualian dapat diberlakukan terutama terhadap Pembangkit Listrik yang menggunakan turbine aeroderivative, alat utama sistem senjata (alutsista), serta perusahaan tambang Freeport yang berlokasi di ketinggian. Terhadap pengecualian tersebut digunakan B-0 setara Pertadex.

Pacu EBT

Sementara itu, pengamat energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmi Radi, mendesak pemerintah agar lebih serius lagi mendorong pengembangan energi baru dan terbaru (EBT).

Menurutnya, pengembangan EBT merupakan keharusan sebelum energi fosil dan batubara habis.

“Kita bakal terlambat apabila pengembangannya harus menunggu habisnya energi fosil dan batubara,” ujarnya.

Pengembangan EBT akan membantu menghemat anggaran belanja negara.

Impor bahan bakar minyak (BBM) bakal berkurang dan bakal banyak nilai tambah di dalam negeri yang diperoleh sehingga devisa negara tidak terkuras.

Fahmi mencontohkan implementasi B20 awalnya hanya diwajibakn bagi PSO akan tetapi sejak 1 sep 2018 diperluas bagi Non-PSO sehingga semua kendaraan, alat berat, PLN wajib mempergunakan B20.

“Perluasan itu akan memberikan dampak positif antara lain mengurangi impor BBM sehingga bisa memperbaiki defisit neraca pembayaran yang akan menguatkan rupiah,” tegasnya.

Selain itu, menurut Fahmi, penggunaan B20 akan memperbaiki harga crude palm oil (CPO) Sawit yang harganya lagi terpuruk sehingga menggairahkan bagi petani sawit.

Pemaikan B20 secara luas akan menekan kerusakan lingkungan karena B20 termasuk BBM ramah lingkungan. (*)