Ilmuwan, Pebisnis, dan Pemerintah Sepakat Bentuk Aliansi Ahli Pascapanen

Regional Experts ASEAN Cooperation Project on Postharvest Losses of Agricultural (Proyek Kerjasama ASEAN untuk menekan tingkat kehilangan produksi pertanian. Foto : BALIPOST.com
Regional Experts ASEAN Cooperation Project on Postharvest Losses of Agricultural (Proyek Kerjasama ASEAN untuk menekan tingkat kehilangan produksi pertanian. Foto : BALIPOST.com

TROPIS.CO, KUTA SELATAN – Delegasi 10 negara anggota ASEAN dari unsur akademisi/ilmuwan, peneliti, pemerintah dan pebisnis sepakat membentuk aliansi ahli pascapanen atau “The Alliances of ASEAN Postharvest Experts Networking (APHENet)” untuk meningkatkan kekuatan sektor pangan.

“Jadi dengan diresmikan APHENet itu merupakan kerja sama profesional antara para pelaku pascapanen dari seluruh negara ASEAN, yang sekretariatnya di Indonesia.”

“Mudah-mudahan menjadi bola salju yang bergulir untuk membangun kekuatan bersama di bidang pangan,” kata Prof Dr Eriyatno, selaku Regional Experts ASEAN Cooperation Project on Postharvest Losses of Agricultural (Proyek Kerjasama ASEAN untuk menekan tingkat kehilangan produksi pertanian pascapanen), disela-sela kegiatan ASEAN Regional Workshop di Kuta Selatan, Badung, Selasa (28/8/2018).

Eriyatno mengharapkan dengan dibangunnya kekuatan ekonomi bersama antarnegara di ASEAN, khususnya di bidang pangan, maka negara-negara di Asia Tenggara juga bisa bersaing dalam perdagangan pangan dunia.

“Jadi, dari workshop dihasilkan tindakan bersama diantara para pelaku atau stakeholders industri pangan, yang sekaligus merupakan bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN,” ujarnya pada workshop yang digelar kerjasama ASEAN Cooperation Project tersebut, dengan didukung oleh ASEAN Integrated Fund (JAIF) dan Kementerian Pertanian itu.

Menurut Eriyatno, dari kerjasama tersebut, di satu sisi dapat ditingkatkan produksi pangan dan di sisi lain untuk mengurangi potensi hilangnya perdagangan antarnegara.

Sementara Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pertanian, Dr Kasdi Subagyono, mengatakan salah satu tujuan utama dari ASEAN Regional Workshop tersebut adalah untuk mengembangkan rekomendasi kebijakan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan pascapanen.

Kasdi mengemukakan, kerugian pascapanen di Indonesia secara total mencapai sekitar 20-50 persen.

“Coba bisa dibayangkan kalau kita ‘strong’ di produksi, tetapi kalau proses pascapanen ini banyak hilang, artinya inefisiensi. Kalau itu bisa diselamatkan, bisa juga menyelamatkan produksi,” ungkapnya.

Dia pun mencontohkan untuk proses pascapanen pada padi bisa kehilangan hasil produksi hingga 11 persen dari penggunaan alat memanen.

Tetapi dengan sentuhan mesin “combine harvester” yang selama ini merupakan salah satu bantuan dari pemerintah kepada petani, bisa ditekan berkurangnya hasil produksi itu menjadi enam persen.

“Artinya dengan modernisasi, dapat menyelamatkan lima persen dari total produksi, bayangkan jika dikalikan sudah berapa itu,” ujar Kasdi.

Lewat lokakarya/workshop tersebut diharapkan bisa saling berbagi pengalaman antara para delegasi dari negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi dan memecahkan persoalan pertanian tersebut.

“Yang punya pengalaman spesifik, bisa di-share untuk kita dan pengalaman kita bisa dishare untuk negara lain,” katanya.

Senada dengan itu, Kepala Balai Besar Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan Prof Dr Ir Risfaheri MSi mengatakan lewat workshop tersebut bisa menjadi ajang saling berbagi bagaimana menekan kehilangan hasil produksi pertanian pascapanen di setiap negara.

“Bisa bertukar pikiran, baik itu teknologinya, maupun proyek percontohannya di masing-masing negara. Misalnya di Indonesia untuk cabainya, Thailand untuk nenasnya, dan Vietnam untuk berasnya,” ujar Risfaheri.

Menurutnya, masing-masing delegasi dapat menyampaikan tingkat kemajuannya, strategi, hingga masalahnya.

“Dengan bertukar informasi tersebut dapat disusun strategi untuk menekan ‘loss’ itu tadi yang kisarannya 20 persen.”

“Yang terbesar potensi hilangnya produksi terutama untuk komoditi hortikultura karena sifatnya yang mudah rusak,” ujar Risfahei .

Dalam workshop yang berlangsung dari 27-29 Agustus itu juga menghadirkan sejumlah pembicara dari ADB, FAO dan Bank Indonesia – Small Medium Enterprise serta 44 partisipan dari berbagai akademisi perguruan tinggi dan instansi terkait dari 10 negara ASEAN.

Untuk Bali, akademisi Universitas Udayana Dr Agung Suryawan dan akademisi Universitas Warmadewa Dr Ida Bagus Udayana) menjadi partisipan yang mewakili Indonesia. (*)