Pembuktian Kaidah Ilmiah Karhutla Perlu untuk Hindari Pengadilan Jalanan

Hasil kajian ilmiah menunjukkan bahwa tidak semua karthutla mengakibatkan kepunahan seluruh jenis flora dan fauna. Foto : Kabar24 - Bisnis.com
Hasil kajian ilmiah menunjukkan bahwa tidak semua karthutla mengakibatkan kepunahan seluruh jenis flora dan fauna. Foto : Kabar24 - Bisnis.com

TROPIS.CO, JAKARTA – Kalangan akademisi mengingatkan, perlu pola pembuktian yang memenuhi unsur kaidah ilmiah dalam kasus kebakaran kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) di persidangan maupun proses penyidikan untuk menghindari kontroversi dan pengadilan jalanan seperti yang selama ini terjadi.

Pernyataan itu disampaikan pakar konservasi keanekaragaman hayati Prof Yanto Santosa, pakar biologi tanah dan lingkungan Dr Gunawan Djajakirana, pakar Agrometeorologi dan perubahan iklim Idung Risdiyanto, serta pakar gambut Dr Basuki Sumawinta dalam satu diskusi, belum lama ini.

Menurut Yanto Santosa, akibat lemahnya pola pembuktian yang tidak memenuhi kaidah ilmiah, kerap terjadi putusan pengadilan yang berbeda-beda, padahal materi gugatan sama.

Masalah itu tak berhenti sampai di situ. Tekanan para yang Lembaga Swadaya masyakarat (LSM) yang kurang memahami konteks gugatan dan jalannya persidangan secara utuh semakin menimbulkan kontroversi dan dampak sosiologis.

Yanto mengingatkan, masalah ini harus dituntaskan agar tidak berdampak negatif dan sistematik bagi sektor sawit dan HTI yang berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia.

”Perlu gambaran yang utuh tentang proses hukum kebakaran ditinjau dari kaidah ilmiah sehingga berbagai kontroversi dapat dihindari,” tutur Yanto.

Sementara Gunawan mengungkapkan, tidak semua karhutla menimbulkan dampak pada kerusakan lingkungan hidup khususnya kerusakan tanah.

“Dampak yang timbul dan tingkat kerusakannya sangat terkait dengan tingkat keparahan kebakaran, dan umumnya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi termasuk pada tingkat keparahan ringan,” ujarnya.

Hasil kajian ilmiah menunjukkan bahwa tidak semua karthutla mengakibatkan kepunahan seluruh jenis flora dan fauna.

Kebakaran tidak hanya mengakibatkan penurunan tetapi juga peningkatan jumlah jenis/individu kekayaan jenis dan perubahan komposisi, serta lebih bersifat site spesifik.

Oleh karena itu, perhitungan ganti ruginya harus dilakukan secara khusus untuk setiap lokasi kebakaran.

“Pendugaan besarnya dampak dan penetapan nilai kerugian seharusnya hanya dapat dilakukan jika kondisi keanekaragaman hayati sebelum terjadinya kebakaran diketahui,”papar Gunawan.

Lantas Idung mengungkapkan, data hotspot dapat menjadi indikator adanya kebakaran, tetapi jumlah titik hotspot bukanlah menggambarkan jumlah kejadian kebakaran.

“Data hotspot dapat digunakan sebagai indikator kejadian kebakaran sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bukti hukum dalam perkara karhutla,” katanya.

Di sisi lain, Basuki mengingatkan, perlu dilakukan revisi dalam lampiran PermenLH No 7/2014 agar penetapan ganti rugi logis.

Pasalnya, dalam berbagai kasus perkara pidana karhutla, parameter pengubah ganti rugi hanya berdasarkan luasan.

Sebagai contoh untuk luasan 1.000 hektare, perhitungan kerugian sebesar Rp366 miliar, luasan 3.000 hektare, kerugian lingkungan yang harus diganti sebesar Rp1.054.700.000,00 miliar dan luasan 20.000 hektare, ganti kerugian sebesar Rp7.986.000.000,00 miliar.

“Dalam perhitungan tersebut, semua paramater dianggap relatif tetap, kecuali untuk kerugian umur pakai karena perbedaan harga komoditas dan produktivitas,” ungkap Basuki.

Menurut Basuki, seharusnya, nilai pengubah dari setiap paramater dalam pedoman penghitungan, harus disesuaikan dengan kondisi lapangan.

Hal ini karena sifat gambut bervariasi tergantung keadaan biodiversitas tumbuhan hutan pada saat pembentukan gambut. (*)