Dirjen KSDAE : Habitat Orangutan Batangtoru Masih Luas

Kementerian LHK terus berkoordinasi dengan Kementerian ESDM untuk memastikan pembangunan PLTA itu nantinya tidak mengganggu habitat orangutan. Foto : CBC.ca
Kementerian LHK terus berkoordinasi dengan Kementerian ESDM untuk memastikan pembangunan PLTA itu nantinya tidak mengganggu habitat orangutan. Foto : CBC.ca

TROPIS.CO, JAKARTA – Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengatakan, pembangunan PLTA Batangtoru yang berada di area pengggunaan lain (APL) diperkirakan tidak akan menganggu habitat orangutan di Tapanuli.

Saat ini, eksosistem Batangtoru merupakan areal dengan luasan mencapai 110 hektar kawasan yang dikelola 11 KPH. Didalamya terdapat kawasan hutan lindung, hutan primer, pertanian dan area penggunan lan.

“Jadi areal yang tersedia sebagai habitat orang utan masih sangat luas,” tutur Wiratno belum lama ini.

Menurutnya, dalam pembangunan PLTA Batangtoru, pihaknya tetap mensinergikan antara kepentingan konservasi dan pembangunan.

KLHK terus berkoordinasi dengan ESDM untuk memastikan pembangunan PLTA itu nantinya tidak mengganggu habitat orang utan.

“Hanya saja, untuk menyetop kegiatan pembangunan PLTA Batangtoru bukan pilihan karena proyek ini strategis dan mempunyai dampak postif bagi pembangunan pertanian dan ekonomi,” kata Wiratno.

“Namun kami akan mengundang pakar orangutan untuk melakukan penelitian.

Apapun kepentingan, semua harus berdasarkan kajian ilmiah agar tidak menimbulkan pertentangan dikemudian hari,” paparnya.

Wiratno menilai, orangutan di kawasan Batangtoru merupakan satwa yang jinak dan bersabahat. Sarang orang utan mudah ditemui di jalan-jalan.

Sebelumnya, Direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad mengatakan, PLTA khususnya yang bertipe peaker bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listik dan meminimalkan penggunaan pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) pada saat beban puncak.

Salah satu PLTA tipe peaker yang kini sedang dikembangkan adalah PLTA Batangtoru di Tapanuli Selatan yang berkapasitas 4×127,5 MW.

PLTA Batangtoru akan memanfaatkan kolam penampung yang tidak luas sehingga tidak akan mengubah bentang alam dan berdampak minimal pada ekosistem yang ada di sekitarnya.

Munir menjelaskan, kedepan, pembangkit listrik berbasis batubara masih akan dimanfaatkan namun harus menerapkan teknologi batubara bersih yang lebih rendah emisi GRK terutama pada pembangkit yang sudah mapan seperti di Jawa-Bali.

Direktur Inventarisasi GRK dan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) KLHK Joko Prihatno mengungkapkan, hasil inventarisasi GRK nasional menunjukkan Indonesia telah berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 8,7% pada tahun 2016 dari target penurunan emisi sebesar 29% pada 2030 berdasarkan Business As Usual (BAU) sesuai dokumen NDC. (*)