Tirani Para Ahli

Kemiskinan akibat kekurangan hak. Foto : Kicknews.today
Kemiskinan akibat kekurangan hak. Foto : Kicknews.today

TROPIS.CO – Kepedulian terhadap masalah seringkali disikapi secara keliru, dan dapat berakibat menghasilkan penyelesaian yang keliru pula.

Menentukan masalah yang benar sangat penting, daripada menjalankan kebijakan atas dasar masalah yang salah, karena akan menimbulkan masalah baru maupun komplikasinya.

Penulis buku “The Tiranny of Experts: Economists, Dictators and the Forgotten of Rights of the Poor”, William Easterly, sepanjang kariernya mendapat pembelajaran dan membuat pertanyaan: “Apa yang harus kita lakukan untuk mengakhiri kemiskinan global, juga terhadap perampasan kaum miskin itu?

Ia menyebut bahwa kita tidak boleh sekedar peduli terhadap penderitaan secara material, sebaliknya harus peduli pada hak-hak mereka.

Itu tidak berarti kita kurang peduli pada penderitaan itu; karena para ekonom atau teknokrat umumnya, dapat memberi “tawaran palsu” dengan memenuhi kebutuhan materi, melalui program-program pembangunan, tetapi terbukti tidak mampu mengubah keadaan. [Kata ‘teknokrasi’ dimaknai mata uang awal abad ke-20, yang berarti “diatur oleh para ahli.”

Ia melanjutkan: “Yang dapat anda lakukan adalah mengadvokasi bahwa orang miskin harus memiliki hak sama dengan orang kaya. Anda dapat protes ketika kebijakan menginjak-injak hak-hak mereka, baik melalui lembaga bantuan ataupun melalui tindakan militer.

Selanjutnya, pendapat dan pernyataannya diuraikan berikut.

Ilusi Teknokratis

Pendekatan pembangunan menghapus kemiskinan biasanya didasarkan pada keyakinan bahwa kemiskinan punya masalah teknis dan diatasi dengan solusi teknis: pupuk, antibiotik, suplemen gizi dll seperti itu.

Ilusi itu mengabaikan penyebab kemiskinan yang sesungguhnya, yaitu kewenangan pemerintah yang disebutnya “tidak terkendali” terhadap orang miskin tanpa hak.

Di beberapa negara teknik-teknik peningkatan kehutanan, misalnya, menawarkan solusi bagi kemiskinan. Tetapi faktanya bukan solusi. Ilusi bahwa masalahnya adalah teknis, hanya mengalihkan perhatian dari pelanggaran hak-hak rakyat kecil itu.

Para ahli umumnya memiliki kenaifan sangat buruk tentang kekuasaan. Terdapat rekomendasi misalnya kewenangan pemerintah harus dilonggarkan atau bahkan dihapus, padahal kekuatan yang sama akan tumbuh dan berjalan atas kemauannya sendiri.

Apa yang dulu hak Illahi para raja, saat ini bisa menjadi hak para diktator. Visi implisit pembangunan saat ini yaitu para birokrat memiliki niat baik seperti disarankan para ahli, yang disebut buku ini sebagai “authoritarian development atau AD”.

Pemusatan perhatian pada solusi teknis yang menutupi pelanggaran hak-hak rakyat kecil menjadi tragedi moral hari ini. Pendekatan netral terhadap kemiskinan tidak ada.

Setiap pendekatan pembangunan akan menghormati hak orang miskin atau akan melanggarnya. Seseorang tidak dapat menghindari pilihan moral itu dengan mengajukan pendekatan “kebijakan non-ideologi berbasis bukti” (“evidence-based policies” sebagai frasa populer saat ini).

AD juga menjadi tragedi pragmatis. Sejarah dan pengalaman modern menunjukkan bahwa individu-individu bebas dengan hak-hak politik dan ekonomi menjadi sistem penyelesaian masalah yang sukses.

Juga memberi kita hak memilih di antara segudang cara pemecahan masalah. Tetapi kenyataannya dapat berjalan melebihi diktator, pada penerapan solusi yang disediakan para ahli.

Misalnya menyebut kemiskinan akibat kekurangan ahli, padahal kemiskinan akibat kekurangan hak. Penekanan pada masalah keahlian membuat masalah hak semakin buruk.

Masalah-masalah teknis orang miskin (dengan tanpa solusi teknis untuk masalah-masalah itu) adalah gejala kemiskinan, bukan penyebab kemiskinan itu sendiri.

Buku ini menganggap penyebab kemiskinan adalah masalah-masalah teknis yang ditetapkan pada kondisi ketiadaan hak politik dan hak ekonomi rakyat miskin. Apa yang diharap para ahli atas penyelesaian masalah teknis bukan menjadi solusinya. Perbaikan serupa itu justru masalahnya.

Birokrasi/Autokrasi atau B/A

Mereka yang mendukung penyelesaian terpusat tidak melihat prakteknya bahwa pemusatan kewenangan menjadi tujuan itu sendiri.

Mereka percaya B/A akan membebaskan kemiskinan lebih cepat. Mereka percaya para ahli tahu lebih baik daripada orang miskin, bagaimana seharusnya memecahkan masalah mereka.

Konsep umum pembangunan selama beberapa dekade berdasar asumsi bahwa “B/A yang baik hati” yang bekerja. Menurut konsep ini, pemimpin memiliki kekuatan, dengan niat kerja baik dari kekuatan itu.

Mereka hanya membutuhkan saran para ahli. Ketika hal-hal yang baik memang terjadi – seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi atau peningkatan kesehatan yang cepat – kredit diberikan kepada B/A.

Masalahnya, pendekatan pembangunan kadang-kadang tidak tersurat tetapi tersirat. Seringkali terlihat altruistik daripada melayani diri sendiri. Peran B/A lebih sering tidak disengaja daripada disengaja.

Tidak terlihat konspirasi melawan hak. Untuk itu, saya bersimpati kepada para ekonom yang, dengan semangat membantu orang-orang miskin di dunia, tanpa disadari mendukung B/A, karena untuk waktu yang lama saya juga salah satu dari para ekonom itu.

*Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor