DPR Minta Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Tembakau Dipercepat

Di Indonesia penerimaan cukai tetap didominasi penerimaan dari hasil cukai tembakau dan minuman beralkohol. Foto : Fajar Online
Di Indonesia penerimaan cukai tetap didominasi penerimaan dari hasil cukai tembakau dan minuman beralkohol. Foto : Fajar Online

TROPIS.CO, JAKARTA – DPR meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan agar mempercepat penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau.

Hal itu dimaksudkan untuk mengoptimalkan pungutan cukai oleh industri yang kerap mengurangi pembayaran dengan memanfaatkan struktur tarif yang terlalu lebar.

“Kalau bisa lebih cepat dari target tahun 2021 akan lebih baik karena penerimaan negara dari cukai berkontribusi kedua setelah pajak,” kata Anggota Komisi XI DPR RI, Amir Uskara, dalam diskusi Weekly Forum bertajuk Meningkatkan Rasio Penerimaan Negara Melalui Kebijakan Cukai yang berlangsung di Jakarta, Selasa (3/7/2018).

Seperti diketahui, pemerintah telah menerapkan tarif cukai hasil tembakau yang baru pada 1 Januari 2018 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146 Tahun 2017.

Dalam peraturan tersebut, pemerintah menyederhanakan tingkatan (layer) tarif cukai rokok secara bertahap sampai 2021.

Dari 2018 sampai 2021, tarif cukai rokok disederhanakan setiap tahun berturut-turut menjadi 10, delapan, enam, dan terakhir lima layer pada tahun 2021. Pada 2017 lalu, tarif cukai rokok mencapai 12 layer.

Menurut Wakil Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu, layer yang terlalu banyak memungkinkan pelaku industri mengurangi sedikit produksinya untuk menghindari tarif yang lebih tinggi, sehingga penerimaan negara dari cukai kurang optimal.

Selain penyederhanaan struktur tarif, politisi asal daerah Pemilihan Sulawesi Selatan itu juga meminta pemerintah melakukan ekstensifikasi penerimaan barang yang dikenakan cukai, misalnya plastik dan limbah kendaraan bermotor.

“Di Malaysia dan Thailand, penerimaan cukai dari limbah kendaraan bermotor itu mencapai 56 persen, selebihnya baru cukai dari hasil tembakau, minuman beralkohol dan jasa kebugaran.”

“Sementara di Indonesia penerimaan cukai tetap didominasi penerimaan dari hasil cukai tembakau dan minuman beralkohol,” kata Amir.

Potensi tersebut jika dikaji lebih mendalam bisa meningkatkan penerimaan cukai, sehingga tidak senantiasa dibebankan pada cukai hasil tembakau karena industrinya melibatkan sangat banyak tenaga kerja.

Lebih Efektif

Ekonom dari Indef, Aviliani dalam kesempatan itu mengatakan penyederhanaan layer akan memudahkan para pelaku usaha dalam mengkalkulasi kewajibannya. Di sisi lain, penerimaan negara lebih optimal dari struktur tarif yang sederhana.

Ia juga menekankan pentingnya konsistensi pemerintah dalam menjalankan kebijakan, agar tidak ada perubahan ketika peraturan sudah disepakati bersama.

“Kalau tarifnya lebih sederhana, mereka bisa menghitung sendiri kewajibannya, sehingga tidak perlu menyewa konsultan pajak lagi yang mungkin biayanya lebih besar dari jumlah yang akan dibayar ke negara,” ujar Aviliani.

Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Bea Cukai Nugroho Wahyu dalam kesempatan itu mengatakan simplifikasi cukai rokok patut akan membuat kebijakan cukai lebih efektif.

“Penyederhanaan sistem cukai akan mengefektifkan kebijakan cukai dalam pengendalian konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan negara,” tutur Nugroho.

Selain itu, akan mengurangi tingkat kecurangan pembayaran cukai yang dilakukan para pelaku industri. Selama ini, struktur tarif cukai yang rumit menghasilkan tingkat ketidakpatuhan lebih tinggi.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah menargetkan penerimaan bea cukai sebesar Rp194,1 triliun.

Dari jumlah tersebut, Rp155 triliun atau sekitar 80,1 persen diantaranya berasal dari cukai. Sedangkan, target penerimaan dari cukai produk hasil tembakau sebesar Rp148 triliun. (*)