Tragedi Kebebasan : Hak Publik Lingkungan Hidup bagi Generasi-YZ

TROPIS.CO, JAKARTA – Melihat perkembangan akhir-akhir ini, wisata alam—atau yang serupa dengan itu—menjadi tren Generasi-YZ. Generasi yang lahir di ’80—2000an itu terampil menggunakan teknologi informasi, instrumen media sosial; bukan hanya untuk kesenangan, tetapi juga untuk memupuk kebersamaan, konsolidasi, sumber pengetahuan, bahkan untuk usaha komersial.

Yang mungkin luput dari perhatian barangkali keberlanjutan apa yg dijalankan sebagai hak-hak individu mereka, sangat tergantung pada kualitas ruang publik, seperti ruang media sosial, hutan dan tanah dalam bentang alam, sungai, laut, maupun udara. Di balik ruang publik itu melekat hak-hak publik. Karena hak-hak publik itu ketersediaan dan kualitasnya terbatas, maka kondisinya mudah tercemar atau rusak, manakala kegiatan atas hak-hak individu ingin untung sendiri-sendiri. Maka, hak-hak publik yang terbatas, bukanlah penjumlahan hak-hak individu/private yang cenderung tak terbatas.

Ketika Generasi-YZ mendapat manfaat dari ruang publik itu, pada waktu yang sama ruang publik juga ada yang mencemari dan merusaknya. Hoax, ujaran kebencian, perusahaan-perusahaan pencemar sungai dan udara, pengkonversi hutan di luar ketentuan termasuk illegal logging adalah praktek-praktek pencemaran dan perusakan ruang publik. Bukankah ada grup medsos bubar gara-gara pengaruh hoax atau ujaran kebencian?

Bubar itu berarti hapusnya ruang publik, sebagai derita kesalehan sosial.Itu serupa dengan derita masyarakat di tepian sungai yang sehari-hari dicemari berton-ton limbah beracun, juga banjir dan kekeringan yang menimpa beribu-ribu hektar sawah-ladang petani. Maupun derita masyarakat adat yang digusur ruang hidupnya oleh izin-izin pemanfaatan sumberdaya alam. Ataupun hilangnya keindahan bentang alam yang menjadi andalan wisata-wisata—akibat persoalan tata ruang. Itu semua pelanggaran oleh hak-hak individu atas hak-hak publik.

Maka, adalah benar lingkungan hidup (LH) sebagai hak publik dikatakan “milik” semua orang, dan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H (1), disebut bahwa setiap orang berhak mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dan sudah pula terdapat berbagai peraturan-perundangan turunan serta penegakkan hukum untuk memenuhi hak setiap orang itu. Tetapi fakta juga membuktikan adanya kolusi dan korupsi, sehingga peraturan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Tragedi Kebebasan

Namun, karakteristik LH itu tidak seperti barang ekonomi biasa, yangmana semakin langka semakin mahal harganya. Kelangkaan LH seringkali tidak diikuti oleh peningkatan perhatian terhadap LH. “Harga LH” bisa tetap murah bahkan tidak dihargai, walaupun pasokan LH berkualitas, semakin rendah.

Fenomena seperti itu dijelaskan Garrett Hardin, dosen Ekologi Manusia University of Californi 50 tahun lalu, melalui publikasinya: “The Tragedy of the Commons” dalam majalah Science. Artikel 1968 itu diawali pernyataan J.B. Wiesner dan H.F. York, bahwa terdapat fenomena yang dialami masyarakat tidak memiliki solusi teknis. Solusi teknis dimaksud yaitu tindakan yang membutuhkan perubahan hanya dalam teknik ilmu alam. Maknanya, soal lingkungan hidup itu memerlukan solusi non-teknis, sebut saja solusi sosial-politik, yang juga perlu memperbaiki nilai-nilai kemanusiaan atau ide-ide moralitas.

Hardin memberi contoh pemanfaatan padang rumput milik bersama dengan hak publik yang terbuka untuk semua, dan setiap penggembala cenderung berusaha memelihara ternak sebanyak mungkin.

Pengaturan seperti itu dulu bekerja dengan memuaskan selama berabad-abad, karena dahulu sering terjadi perang suku, perburuan, dan penyakit yang mengendalikan jumlah manusia, sehingga jumlah binatang piaraannya tidak melampaui tersedianya makan di padang rumput.

Namun, datang di suatu hari—sampai hari ini, ketika tujuan stabilitas sosial tanpa perang, tanpa perburuan dan tanpa penyakit menjadi kenyataan, jumlah manusia dan ternak meningkat.

Pada titik itu, kerusakan sumberdaya alam yang menjadi hak publik terjadi, dan disebut sebagai tragedi. Setiap orang terkunci dalam sistem yang memaksa mereka meningkatkan aksinya tanpa batasdi dunia dengan daya dukung terbatas.

Akibatnya disadari atau tidak, merusak adalah tujuan semua orang, dan masing-masing mengejar kepentingannya sendiri-sendiri dalam masyarakat yang percaya pada kebebasan. Yaitu kebebasan dalam kebersamaan yang membawa kehancuran bagi semuanya (ruin to all).

Untuk masalah pencemaran juga begitu. Yang ini bukan mengambil sesuatu dari hak publik, tetapi memasukkan sesuatu—sampah, limbah, bahan kimia, radioaktif, dll, ke dalam sungai, tanah atau ke udara.

Itu karena rasionalitas manusia menghitung, bahwa biaya limbah yang dibuang ke tempat-tempat publik lebih kecil daripada biaya memurnikan limbahnya sebelum dibuang. Karena cara pikir itu dipakai semua orang, maka masyarakat terkunci dalam sistem “mengotori rumah kita sendiri”, sepanjang bersikap mengandalkan rasionalitas bebas itu.

Korupsi

Tawaran solusi atas persoalan tragedi kebebasan itu ada pada pelaksanaannya. Kelemahan pengawasan dan penegakan hukum misalnya, akibat korupsi. Dengan korupsi, perusakan sumberdaya alam tanpa izin bukan hanya terjadi di tempat yang tidak mudah diketahui, tetapi juga terjadi di tempat yang mudah didatangi banyak orang. Misalnya kawasan hutan di Bogor, Jawa Barat, dengan luas 49.342,59 Ha telah terdapat ekspansi penggunaan lahan seluas 22.107,65 Ha. Demikian pula pencemaran di berbagai sungai oleh pabrik-pabrik yang dapat dilihat setiap hari.

Bukan hanya melanggar peraturan, tetapi yang melanggar bisa dilindungi peraturan. Caranya, isi peraturan dibuat sedemikian rupa sehingga korupsi menjadi sah. Proses itu biasa disebut state capture. Cara lain bisa dilakukan dengan memanipulasi peta.

Misalnya kawasan hutan yang dilarang dikonversi menjadi kebun, petanya diubah sehingga menjadi bisa dikonversi. Selain itu proses peradilan juga bisa dimanipulasi melalui korupsi, sehingga bisa membebaskan yang salah.

Hal-hal seperti itu dapat terjadi apabila eksekutif, legislatif maupun yudikatif terdapat sekumpulan orang yang bekerja dengan tidak mengindahkan hak-hak publik. Dengan kata lain, para pelaku tragedi dapat merebut dan menguasai hak-hak publik itu.

Dalam kondisi seperti itu, instrumen pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan, seperti AMDAL dan izin lingkungan, tidak bisa berjalan sepenuhnya. Litbang KPK selama 2013-2017 telah membuktikan adanya korupsi perizinan seperti itu.

Andalan pada Generasi YZ
Terhadap kenyataan-kenyataan di atas, hal paling prinsip bagi Generasi-YZ sebaiknya bukan hanya memanfaatkan, tetapi juga menjaga hak-hak publik yang sangat rentan tercemar dan rusak oleh tragedi kebebasan maupun korupsi. Generasi-YZ yang saat ini meminati ruang-ruang publik, dengan kecerdasan, daya kritis dan kreativitasnya, diyakini dapat menumbuhkan pembelaan dan tanggungjawab atas hak-hak publik itu sebagai generasi penerus. Yaitu generasi yang dapat mengantisipasi dan melangkah atas hadirnya peningkatan kebutuhan hak-hak individual yang menunjang tragedi kebebasan dan peningkatan ancaman ruang-ruang publik, melalui tekanan moral maupun gerakan sosial untuk melindungi hak-hak publik itu.

Pembela hak-hak publik itu kini telah dilindungi Undang-undang, tetapi itu tidak bermakna apabila para pembela itu tidak hadir. Untuk itu, Generasi-YZ perlu hadir dan mengartikulasikan pelanggaran terhadap hak-hak publik, termasuk korupsi, sebagai pelanggaran menghilangkan akhlak manusia, bukan sekedar kerugian atas tercemar dan rusaknya hak-hak publik itu sendiri. Sebagaimana disebut Garrett Hardin: “The (population) problem there has no technical solution; it requires a fundamental extention in morality.”

Hariadi Kartodiharjo
Guru Besar IPB