Urgensi Perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Revizi undang undang No 41 tahun 1999, Urgensi?

 

TROPIS.CO-JAKARTA. Pro kontra perlunya dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah sesuatu yang wajar dan sudah seharusnya semua pihak ikut didalamnya agar perubahan Undang-Undang ini dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi tata kelola hutan di Indonesia. Dari sisi filosofis perubahan  Undang-Undang ini sangat diperlukan adanya berbagai pemikiran oleh para pakar di bidangnya. Filosofis berarti bicara konsep-konsep sebagai roh dari Undang-undang ini.  Berbagai cara dapat dilakukan untuk memperoleh konsep tersebut, diantaranya pemikiran dapat dilahirkan melalui tulisan dan juga dapat diperoleh melalui diskusi antar pakar yang kompeten. Misalnya dapat dilakukan melalui FGD dengan harapan para pakar dapat berkontribusi dalam memberikan input sekaligus jalan terbaik untuk dimasukkan dalam Draft Rancangan Perubahan UU no. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang saat ini sedang dipersiapkan oleh Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI. Proses sudah berjalan dan berbagai pihak yang berkepentingan tidak bisa hanya setuju dan tidak setuju karena memang secara yuridis UU tentang Kehutanan sudah mengalami beberapa kali perubahan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011 untuk perkara pengujian Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3), dimana amar putusan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 /PUU-IX/2011 perkara pengujian Pasal 1 angka 3 yang permohonan Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi seluruhnya dan menyatakan Frasa “dirunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.  Selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 untuk perkara pengujian Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) serta Pasal 67 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebgian dan menyatakan Pasal dan ayat tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pengujian UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juga telah  dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait Permohonan Nomor 95/PUU-XII/2014 dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya terkait dengan Pasal 50 ayat (3) huruf e UU tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempunyai dampak yang sangat besar bagi pelaksanaan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal-pasal dan ayat dalam UU Kehutanan sudah dinyatakan batal dan tidak berlaku yang pada akhirnya berimplikasi tidak adanya norma hukum untuk materi yang sebelumnya diatur dengan pasal-pasal yang dibatalkan, sehingga menyebabkan adanya kekosongan hukum dalam norma Undang-Undang Kehutanan.

Masukan para pakar sangat penting jika dikaitkan dengan landasan filosofis dan sosiologis dari Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Peran para pakar diperlukan untuk pengaturan dalam Rancangan Perubahan seperti pengertian umum, isi dari pasal yang akan dilakukan perubahan dan kemungkinan melahirkan norma hukum yang baru yang sebelumnya belum ada dalam undang-undang yang akan dilakukan perubahan.

DR. Bob Sadino .Pakar hukum lingungan dan kehutanan.