Mendekati Narkoba, Nilai Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar Mencapai Rp13 Triliun Setahun

Sejumlah satwa dan tumbuhan langkah hasil kejahatan yang berhasil disita siap dimusnakan. Dirjen Gakkum Rasio Ridho Sani saat memamerkan berbagai satwa hasil sitaan dan serahkan untuk dimusnaskan. Budhi/tropis.co
Sejumlah satwa dan tumbuhan langkah hasil kejahatan yang berhasil disita siap dimusnakan. Dirjen Gakkum Rasio Ridho Sani saat memamerkan berbagai satwa hasil sitaan dan serahkan untuk dimusnaskan. Budhi/tropis.co

TROPIS.CO, JAKARTA – Nilai transaksi kejahatan satwa liar nasional sedikitnya mencapai Rp13 triliun per tahun sehingga menempatkan kejahatan satwa berada di peringkat ketiga, setelah narkoba dan pedagangan manusia.

Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, mengungkapkan itu, saat upacara pemusnahan delapan truk barang rampasan dan barang serahan, hasil kejahatan satwa di Jakarta, Senin (30/4/2018).

Adapun kedelapan truk tersebut maisng masing berisi; opsetan satwa sebanyak 117 ekor, kerapas kura-kura 213 karung, sisik trenggiling 248 kg, kulit reptil 6.168 lembar.

Ada bagian tubuh satwa liar, 366 buah (kepala, tanduk, kuku, bentuk topi), 14 lembar kulit harimau, macan tutul, beruang, 66 lbs potongan tanduk rusa, dan 16 dus hasil kejahatan satwa lainnya.

Dalam tiga tahun terakhir, tercatat sudah 187 kasus terkait tumbuhan dan satwa liar dengan berhasil menyita 12.966 satwa dan 10.233 bagian satwa sebagai barang bukti. “Dari berbagai kasus yang ditangani, beragam actor yang terlibat termasuk sindikat internasional,” kata Ridho Sani.

Kejahatan perdagangan illegal tumbuhan dan satwa liar saat ini sudah sangat serius dan menjadi perhatian negara-negara dunia. Kejahatan ini dalam sidang United Nation on Drugs and Crime masuk dalam kategori terorganisir dan bersifat trans-nasional, sehingga masuk dalam kategori kejahatan serius (serious crime).

“ Kejahatan terjadi secara massif dan menjadi kejahatan peringkat kedua setelah kejahatan narkoba,” lanjutnya.

Betapa menggiurkanya bisnis illegal ini (high profit low risk), menurut Rasio, diperlukan ada upaya lebih terhadap penegakan hukum yang kini sudah berjalan dengan berbagai pendekatan multi pihak, dan lebih bersifat sistematis, responsive, extraordinary dan lebih inovatif.

Hanya dengan cara demikian, dalam memerangi modus kejahatan yang semakin canggih, memanfaatkan kemajuan teknologi seperti perdagangan satwa via media online.

Khusus berkaitan dengan online ini, hasil penelusuran tim cyber patrol unit Ditjen GAKKUM selama enam bulan terakhir, mencatat sebanyak 532 postingan terindikasi perdagangan satwa dan tumbuhan liar.

Diakui bahwa tumhuhan dan satwa liar mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan, tapi tetap memperhatikan nilai-nilai kelestarian dan mengacu pada ketentuan perundangan.

“KLHK mencatat nilai ekonomi dari ekspor pemanfaatan tumbuhan, satwa liar, dan bioprospecting tahun 2017 sebesar Rp8,26 triliun,” ujar Dirjen GAKKUM tersebut.

Lantaran tingginya potensi sumber daya hayati di Indonesia saat ini, menjadi terancam dengan makin maraknya kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar.

“Selain kejahatan satwa liar dalam bentuk perburuan illegal dan perdagangan ilegal, ancaman terhadap satwa liar juga terjadi akibat fragmentasi habitat serta konflik kebutuhan ruang hidup manusia dan satwa,” pungkas Rasio Ridho Sani. (*)