Perhutanan Sosial, Hanya Ijin Pemanfaatan, Bukan Sertifikat Hak Atas Tanah.

Presiden Joko Widodo saat menyerahkan ijin pemanfaatan Perhutanan sosial di Madiun Jawa Timur belum lama ini. Hanya ijin pemanfaatan kawasan hutan bukan sertifikat hak atas tanah. (foto Sekkab/Tropis.Co)

TROPIS.CO – JAKARTA. Ada kesan masih banyak pihak yang belum memahami misi pemerataan ekonomi yang dikembangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui program Perhutanan Sosial. Mereka beranggapan Perhutanan Sosial membagi bagikan sertifikat hak atas tanah, seperti halnya dilakukan Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional. Padahal sangat beda, Perhutanan Sosial hanya memberikan akses pemanfaatan potensi hutan yang ada di sekitar pemukimannya, melalui penerbitan keputusan ijin pemanfaatan hutan perhgutanan sosial atau IPHPS.

Setidaknya ini benang merah yang dapat disimpulkan dari dialog Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – yang diwakili Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Bambang Supriyanto, dan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Sigit Hardwinarto, di Jakarta, awal pekan ini.

Bambang Supriyanto menyatakan pemberian akses masyarakat kepada kawasan hutan melalui Izin Pemanfaatan hutan, agar aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan kawasan hutan menjadi legal. Dengan demikian program pemerintah dalam rangkaian peningkatan ekonomi masyarakat melalui CSR bisa masuk, dan negara benar benar hadir di tengah masyarakat.

“Masyarakat hanya diberi ijin memanfaatkan atau mengelola agar memberikan nilai ekonomi dan pendapatan mereka meningkat, jadi lahan itu bukan untuk dimiliki, hingga tak bisa dijual belikan, atau juga diwariskan, ”tandas Bambang Supriyanto.

Pengelolaan Perhutan Sosial dilaksanakan dengan mempertimbangkan luas lahan yang dapat diakses, jangka waktu pengelolaan, sistem pengelolaan, dan subyek Perhutanan Sosial. Pengelolaan Perhutanan Sosuial didukung oleh ketersediaan offtaker atau analis, modal usaha, infrastruktur, pendampingan dan penerapan skema bagi hasil yang lebih bermanfaat kepada petani. “Akan ada 1 orang pendamping untuk setiap SK yang sudah diberikan, ini yang menjadi kuncinya”, ujar Bambang.

Bambang juga mengatakan bahwa luas lahan yang dapat diakses oleh rakyat untuk di Pulau Jawa 2 Ha/KK dan luar Jawa 4-5 Ha/KK. “Kelompok masyarakat diberikan izin (akses) pengelolaan untuk jangka waktu 35 tahun, dan setiap 5 tahun kita lakukan evaluasi”, ujarnya.

Hingga 4 April 2018, realisasi capaian kinerja pemberian akses kelola kawasan hutan seluas 1.518.328,04 Ha, yang diberikan kepada ± 313.270 KK, berupa 4.330 Unit SK Ijin/Hak.
Sementara Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Sigit Hardwinarto, mengatakan bahwa KLHK turut berperan dalam upaya untuk pemerataan ekonomi ini yaitu melalui legalisasi aset Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dari kawasan hutan seluas 4,1 juta Ha. Selain itu KLHK juga mendapat mandat untuk memberikan akses Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta Ha.

“Sebagai perbandingan, proporsi pelepasan kawasan hutan sebelum adanya TORA yaitu 12% untuk rakyat, setelah TORA menjadi 38-41%. Sedangkan, pemanfaatan hutan melalui pemberian akses terhadap rakyat sebelum Perhutanan Sosial hanya 2%, dan setelah Perhutanan Sosial rakyat akan mendapatkan porsi setidaknya 28-31%,” jelas Sigit.(Uka)