Indonesia Mencari Peluang di Tengah Perang Dagang AS – Tiongkok

Seminar perdagangan produk pertanian di Bogor

TROPIS.CO, JAKARTA – Kian memanasnya hubungan dagang Amerika Serikat – Tiongkok yang mulai mengarah pada perang dagang, hendaknya dipandang sebagai peluang bagi Indonesia dalam meningkatkan produk ekspornya.

Sebagai mitra dagang utama kedua negara yang kian berseteru, Indonesia dituntut mampu memanfaatkan kesempatan ini hingga memberikan keuntungan, kendati kondisi dan situasi itu akan sangat mempengaruhi perdagangan global. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan melamban, dan harga berbagai produk pertanian dunia diprediksi berfluktuasi tajam.

Demikian salah satu benang merah dari Seminar nasional tentang ‘Perdagangan Internasional Produk Pertanian: Peluang dan Tantangan’ yang diselenggarakan Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor, Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), dan the Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), di IPB International Convention Center, Bogor.

Produk pertanian Indonesia memiliki peluang ekspor yang besar di pasar global, hanya memang tantangan untuk merebut pasarnyapun besar,”kata Kasan, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP).

Tampak hadir selain mantan Wakil Menteri Perdagangan dan Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi, Rektor IPB sekaligus Ketua University Network for Indonesia Export Development (UNIED) Arif Satria, dan Pengamat ekonomi Pertanian HS Dillon, juga sejumlah pakar pertanian dari sejumlah universitas di Indonesia.

Kasan menyebut minyak sawit dan produk turunannya sebagai contoh. Minyak sawit merupakan komoditas pertanian yang memiliki peluang ekspor sangat besar , lantaran berbagai keunggulan yang dimilikinya. Namun disaat yang sama, minyak sawit berikut produk turunannya diberlakukan tidak adil oleh negara negara tujuan ekspor, seperti Eropa dan Amerika. “ Dengan mengusung isu sawit penyebab deforestasi , minyak sawit mendapat diskriminasi,” tutur Kasan.

Tak sebatas itu, tantangan akan semakin berat dan kompleks , karena kini tengah memasuki era ekonomi digital. Sehingga permasalahannya kian menuntut strategi perdagangan yang komprehensif, baik dari sisi diplomasi, hukum, maupun keilmuan, serta membutuhkan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan terkait.

Sementara itu dari sisi perkembangan teknologi, kehadiran revolusi industri 4.0 telah mengubah peta konektivitas antara manusia, mesin, dan data. Komoditas pertanian adalah salah satu bagian penting dalam perdagangan di era digital karena berkaitan erat dengan pangan yang dapat memberikan multiplaer effect bagi pertumbuhan ekonomi.

“Hal ini mengingat lebih dari 50% penduduk Indonesia adalah pengguna internet aktif dan Indonesia juga ditargetkan menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020. Perdagangan dituntut menjadi semakin efisien dan konsumen diuntungkan dengan berbagai kemudahan,” pungkas Kasan (*)