Telusuri Aliran Dana Greenpeace di Indonesia

Pemerintah Indonesia diingatkan tentang perlunya menelusuri sumber aliran dana yang diperoleh Greenpeace. Foto : Berita Trans
Pemerintah Indonesia diingatkan tentang perlunya menelusuri sumber aliran dana yang diperoleh Greenpeace. Foto : Berita Trans

TROPIS.CO, JAKARTA – Pemerintah perlu bersikap hati-hati terhadap kelompok nirlaba seperti Greenpeace yang kerap memberikan masukan yang tidak obyektif kepada penyelenggara negara.

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia diingatkan tentang perlunya menelusuri sumber aliran dana yang diperoleh Greenpeace.

Pasalnya, selama lebih dari dua dekade organisasi ini disinyalir menjadi kaki tangan asing untuk melakukan kampanye hitam terhadap industri sawit dan kebijakan Pemerintah Indonesia.

Pernyataan itu disampaikan anggota DPR dari Fraksi Golongan Karya (Golkar), Firman Subagyo, menanggapi sikap tegas Perdana Menteri India Narendra Modi yang memblokir rekening bank milik Greenpeace karena menerima sumbangan dana tidak sah.

Akibat pemblokiran rekening tersebut, Greenpeace menutup dua kantor perwakilannya di New Delhi dan Patna serta memberhentikan 40 karyawannya.

Selain Greenpeace, Pemerintah India mencabut izin bagi ribuan kelompok yang didanai asing.

Firman menyatakan, ketegasan menghadapi arogansi Greenpeace juga ditunjukkan Pemerintah Brasil.

Ketika bertemu Menteri Kehutanan dan Perwakilan Parlemen di Brasil, mereka secara tegas menolak kehadiran Greenpeace.

“Mereka berkata, forget it Greenpeace. Brasil punya aturan yang harus dihormati semua pihak termasuk mengenai urusan lingkungan.”

“Hingga kini, Pemerintah Brasil tidak pernah memberikan pengakuan bagi Greenpeace,” kata Firman, di Jakarta, Senin (4/2/2019).

Firman berharap, Indonesia punya keberanian yang sama seperti Pemerintah India dan Brasil.

Apalagi, selama bertahun-tahun beroperasi di Indonesia, Greenpeace tidak menunjukkan keperpihakan pada kepentingan nasional.

Bahkan, dalam banyak aksinya, Greenpeace selalu menyudutkan Pemerintah Indonesia.

Tindakannya sangat merendahkan kedaulatan dan hukum di Indonesia.

“Presiden saja tidak berani melanggar aturan dan hukum, masa Greenpeace dibiarkan melakukan pelanggaran selama bertahun-tahun.”

“Karena itu, perlu sikap tegas Pemerintah agar Indonesia dihormati dunia,” ujar Firman lagi.

Pernyataan senada dikemukakan pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira.

Dia berpendapat, kampanye hitam Greenpeace serta LSM lain yang menyerang industri sawit harus cepat ditangani agar dampaknya tidak meluas terhadap neraca perdagangan dan investasi luar negeri.

Apalagi Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran serta harga CPO terus terkoreksi.

Selain tetap melobi negara importir serta membuka akses pasar baru, pemerintah perlu tegas terhadap aksi kampanye hitam.

“Sikap tidak peduli berakibat pada kehancuran industri sawit. Masalah seperti ini pernah terjadi dengan komoditas lain seperti rempah-rempah yang kini hanya kita dengar cerita kejayaannya saja,” tuturnya.

Sementara Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo, sepakat bahwa sebagian besar LSM asing di Indonesia tidak mematuhi prosedur dan aturan hukum di Indonesia sehingga tepat jika pemerintah bersikap tegas dan tanpa kompromi.

“Investigasi perlu dilakukan terhadap Greenpeace, serta LSM lain untuk mengetahui kepatuhan terhadap hukum Indonesia.”

“Ada indikasi kuat NGO asing yang beroperasi di Indonesia umumnya menyerang kepentingan indust ri sawit dan kebijakan pemerintah, tanpa menghormati prosedur dan aturan hukum,” ungkapnya.

Sudarsono menilai, Greenpeace terlalu sering melontarkan tuduhan tanpa risiko yang sepadan.

Selain itu, kebanyakan NGO disinyalir bermain dua kaki. Kaki pertama sebagai alat pemerasan dan kaki lain dipakai sebagai konsultan bagi perusahaan yang mereka tekan.

“Pemerintah harus segera melakukan investigasi untuk mengetahui kepatuhan terhadap hukum serta sumber aliran dana yang dipergunakan Greenpeace di Indonesia,” pungkas Sudarsono. (*)