Pemerintah Perlu Antisipasi Kenaikan Harga Batubara

Pemerintah perlu mengantisipasi dampak dari kenaikan harga batu bara terhadap penggunaan energi di dalam negeri
Pemerintah perlu mengantisipasi dampak dari kenaikan harga batu bara terhadap penggunaan energi di dalam negeri

TROPIS.CO, JAKARTA – Pemerintah perlu mengantisipasi secara dini terhadap terus melonjaknya harga batubara di pasar dunia. Kendatipun pemerintah telah menetapkan kebijakan penetapan domestik market obligation (DMO)harga batu bara tetapi tetap saja upaya menghindari dampak kenaikan harga batubara global perlu dilakukan.

Pengamat Energi dar Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmi Radi menyebutkan dua hal yang perlu dilakukan pemerintah. Kendatipun pemerintah telah menetapkan DMO harga batubara ke PLN tetapi seiring dengan terus meningkatknya harga batubara global, penyesuaian DMO harga batubara lokal perlu terus dilakukan.

Selain itu, bagi fahmi, EBT suatu keniscayaan yang harus dikembangkan di Indonesia. “Tidak hanya karena harga batu bara mahal, tetapi juga pada saatnya energi fosil, termasuk batu bara akan habis,”ungkap Fahmi di Jakarta pada Selasa (29/5/2018).

Fahmi mengatakan memang harga batubara dunia cenderung meningkat. Tentu saja, apabila penjualan batubara ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menggunakan harga pasar, pasti akan memberatkan PLN kalau tidak menaikkan tarif listrik.

Kebijakan Penetapan DMO harga US$70 per ton merupakan harga keseimbangan untuk menekan kerugian PLN dengan mengurangi keuntungan pengusaha batu bara.

Dia pun berpendapat, penetapan DMO harga batubara tidak terlalu merugikan penguasaha energi tersebut. Alasannya, dengan harga jual ke PLN US$70 per ton, penguasaha batu bara masih memperoleh margin. Selain itu, kewajiban menjual ke PLN hanya 25 persen saja, sisanya 75 persen dijual dengar harga pasar

Fahmi pun melanjutkan Pemerintah masih perlu mengantisipasi jika harga batu bara dunia kembali meningkat terus, misal mencapai di atas 100 dollar AS per ton. Perlu ada penyesuaian harga domestik market obligation (DMO)BB.

Sebagaimana diketahui, harga batu bara ICE Newcastle kontrak berjangka ditutup menguat 1,80 persen ke 107,35 dollar AS per ton pada perdagangan hari Senin (28/5/2018), didorong oleh langkanya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik di Tiongkok.

Sang batu hitam mampu melanjutkan momen penguatan sebesar 1,05 persen di sepanjang pekan lalu, dan saat ini sudah menyentuh level tertingginya sejak 29 Januari 2018.

Catatan lainnya, hingga perdagangan kemarin, rata-rata harga batu bara sepanjang bulan Mei 2018 sudah mencapai 103,05 dollar AS per ton, naik cukup pesat dari rata-rata bulan April 2018 sebesar US$93,61 per ton.

Sebelumnya, pergerakan harga batu bara sempat terbebani oleh rencana Pemerintah Negeri Tirai Bambu untuk menstabilkan harga batu bara domestik dan memperkuat pasokan, seperti dikutip dari laporan konsultan energi Fenwei Energy Information Services.

Lembaga perencanaan Tiongkok, National Development and Reform Commission (NDRC) menyatakan akan mengambil setidaknya sembilan langkah untuk menggiring harga pasar ke rentang yang rasional, di antaranya menggenjot produksi, meningkatkan kapasitas rel angkutan, pengurangan konsumsi, memastikan kontrak jangka panjang, serta memperkuat supervisi dan operasi bersama antara sektor batu bara dan tenaga listrik.

Pada akhir pekan lalu, NDRC telah mengadakan pertemuan dengan para penambang, produsen listrik, dan industri di Tiongkok, untuk mendiskusikan kondisi dan pasokan batu bara, sekaligus rencana untuk memangkas harga.

Meski demikian, pertemuan tersebut nampaknya belum memunculkan langkah-langkah nyata untuk mengendalikan harga batu bara domestik di Tiongkok.

Selain itu, kenyataan di lapangan masih menunjukkan stok batu bara yang semakin ketat di negara berpenduduk terbanyak di dunia itu, khususnya di sektor pembangkitan listrik.

Mengutip data Tiongkok Coal Resource, stok batu bara per 25 Mei 2018 di 6 pembangkit listrik utama Tiongkok menurun ke kapasitas 16 hari penggunaan, atau setara dengan 12,41 juta ton. Angka itu merupakan level terendah sejak 9 Februari 2018 lalu.

Stok yang semakin menipis tersebut dipicu oleh penggunaan batu bara di 6 pembangkit listrik utama China yang sudah meningkat 26 persen secara year-on-year (YoY), per hari Jumat (25/5/2018) lalu.

Hal ini disebabkan oleh datangnya periode heatwave (cuaca panas) yang lebih panas dari biasanya di dataran Tiongkok, sehingga meningkatkan intensitas penggunaan listrik untuk alat pendingin ruangan.

“Konsumsi batu bara harian dari 6 pembangkit listrik terbesar (di Tiongkok) saat ini berada di angka 800 ribu ton, pada pekan ini. Angka itu sangatlah tinggi, dan cenderung tidak biasa, untuk bulan ini,” kata salah seorang trader yang berbasis di Beijing, seperti dikutip dari Reuters, pada hari Selasa (22/5/2018).

Kondisi ini lantas memaksa permintaan impor batu bara Negeri Panda juga ikut melonjak, meski ada kebijakan pembatasan impor di sejumlah pelabuhan utama. Sentimen ini akhirnya mampu mendorong harga batu bara bergerak menguat di awal pekan ini.

Terlebih, dengan tingkat operasi pembangkit listrik yang sangat tinggi tersebut, sejumlah analis juga mengkhawatirkan langkanya pasokan akan bertahan lama. “Kita meragukan intervensi pemerintah (Tiongkok) akan efektif, karena bagaimanapun caranya mereka meregulasi pasokan, akan sulit untuk menekan permintaan,” menurut analis dari Argonaut, seperti dilansir dari Reuters (29/5/2018). (*)