Pemerintah Dorong Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan untuk Reforma Agraria

Reforma agraria dari kawasan hutan dan program perhutanan sosial mendorong masyarakat adil makmur berkelanjutan, tanpa konflik, ramah lingkungan, dan memiliki kemandirian ekonomi.
Reforma agraria dari kawasan hutan dan program perhutanan sosial mendorong masyarakat adil makmur berkelanjutan, tanpa konflik, ramah lingkungan, dan memiliki kemandirian ekonomi.

TROPIS.CO, JAKARTA – Reforma Agraria yang menjadi salah satu program dalam Nawacita yang terus dipercepat implementasinya.

Presiden telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH) untuk mempercepat reforma agraria melalui legalisasi obyek agraria di kawasan hutan.

Dengan Perpres tersebut Pemerintah akan segera menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat yang menguasai/memanfaatkan bidang tanah dalam kawasan hutan.

Masyarakat yang menguasai tanah di kawasan hutan akan diberikan hak milik, apabila memenuhi kriteria, yaitu 1. Tanah telah dimanfaatkan dengan baik, 2. Bidang tanah bukan merupakan obyek gugatan/sengketa, 3. Adanya pengakuan oleh adat ataupun kepala desa/kelurahan dengan saksi yang dapat dipercaya.

“PPTKH ini adalah salah satu upaya mewujudkan pilar pertama yaitu kepemilikan lahan dalam kaitan kebijakan pemerataan ekonomi yang di launching Bapak Presiden di Boyolali April 2017.”

“Kebijakan pemerataan ekonomi ada 3 pilar besar, 1. Kepemilikan Lahan 2. Pemberian kesempatan bekerja dan berusaha , 3 peningkatan kapasitas SDM”, tegas Darmin Nasution, Menko Perekonomian dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH) di Hotel Bidakara, Jakarta, (5/6).

Kawasan hutan yang meliputi 63% wilayah daratan Indonesia merupakan obyek reforma agraria yang disasar pemerintah.

Penguasaan lahan di dalam kawasan hutan telah mengalami ketimpangan yang tinggi antara penguasaan oleh sektor swasta dengan penguasaan oleh masyarakat. Hanya 4,14% lahan kawasan hutan yang dimiliki akses pengelolaannya oleh masyarakat, selebihnya dikuasai swasta.

“Dengan reforma agraria dan perhutanan sosial ketimpangan itu akan diperbaiki. Tercatat hingga akhir tahun 2017 Pelepasan kawasan hutan untuk masyarakat melalu program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) telah meningkat dari 12% menjadi 38 – 41%, sedangkan pemberian akses perhutanan sosial kepada masyarakat telah meningkatkan rasionya dari hanya 2% menjadi 28 – 31%.

“Reforma agraria dari kawasan hutan dan program perhutanan sosial mendorong masyarakat adil makmur berkelanjutan, tanpa konflik, ramah lingkungan, dan memiliki kemandirian ekonomi,” tegas Siti Nurbaya, Menteri LHK.

Menteri Siti juga menambahkan bahwa, “Program reforma agraria dan perhutanan sosial harus disertai upaya pendampingan yang berkelanjutan dari pemerintah, dengan berpatokan pada strategi, yaitu: 1. Penguatan program pemberdayaan masyarakat desa (hutan), 2. Pembangunan dengan sistem kluster, 3. Pembentukan dan penguatan kelembagaan masyarakat, 4. Peningkatan kapasitas manajemen usaha masyarakat, 5. Teknologi land base bussines dan pengolahan produksi, dan 6. Membangun koneksi antara usaha petani, UKM dan industri untuk pertumbuhan ekonomi”.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, pemberian akses masyarakat kepada sumber daya hutan dilakukan dengan dua mekanisme yaitu penerbitan iji/hak kelola perhutanan sosial dan penerbitan tanda bukti hak TORA. Perbedaanya yaitu dengan ijin perhutanan sosial lahan hutan dapat diakses namun fungsi hutan tetap dijaga, sedangkan dengan TORA lahan hutan dilepaskan fungsinya menjadi non hutan dan dapat di berikan hak kepemilikan.

Kementerian LHK telah menetapkan areal indikatif TORA seluas ± 4.853.549 ha melalui penetapan Menteri LHK No.180/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017.

Untuk perhutanan sosial melalui penerbitan PIAPS (Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial) telah ditetapkan areal indikatif perhutanan sosial seluas ± 13.462.101 ha melalui penetapan Menteri LHK No.22/MENLHK/SETJEN/PLA.0/1/2017.

Skema perhutanan sosial dapat berbentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat.

Menteri ATR BPN, Sofyan Djalil menyatakan bahwa, “PPTKH sangat penting karena jika Menteri LHK sudah menetapkan batas yang jelas atas kawasan hutan, maka tugas Kementerian ATR BPN untuk menerbitkan sertifikat tanah akan semakin mudah.

Selain itu juga pelepasan kawasan hutan menjadi sangat penting karena menyangkut masyarakat yang tinggal di dalam hutan yang akan kehilangan hak-haknya atas fasilitas dari negara seperti subsidi rakyat dan lain sebagainya”.

Sementara itu Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal (Purn) Moeldoko mengapresiasi pencetusan PPTKH. “Lebih dari 25.000 desa di Indonesia berada di dalam kawasan hutan, namun sulit mendapatkan fasilitas negara karena status legalitasnya sebagai kawasan hutan. PPTKH harus menjadi skema super menyelesaikan konflik pertanahan di Indonesia,” ujarnya.

Turut hadir dalam acara ini Wakil Sekretaris Kabinet, Ratih Nurdiati, Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Eko Subowo.

Pada kesempatan tersebut, Menteri Siti juga memberikan kesempatan kepada Gubernur/ Wakil Gubernur atau yang mewakili dari 26 Provinsi untuk menyampaikan permasalahan dan rencana langkah-langkah percepatan pelaksanaan PPTKH di wilayah masing-masing. (*)