Masyarakat Cihanjawar Tak Lagi Kesulitan Air

Harapan mereka untuk bisa menikmati air bersih secara mudah mulai terang ketika di tahun 2008 dilakukan upaya pemulihan ekosistem di TNGGP. Foto : Rini/tropis.co
Harapan mereka untuk bisa menikmati air bersih secara mudah mulai terang ketika di tahun 2008 dilakukan upaya pemulihan ekosistem di TNGGP. Foto : Rini/tropis.co

TROPIS.CO, SUKABUMI – Bertahun-tahun lalu, puluhan truk yang lalu lalang mengangkut gelondongan kayu damar atau pinus menjadi pemandangan sehari-hari di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

Belum lagi adanya pembalakan liar (ilegal logging), membuat TNGGP menjadi gundul.

Salah satu dampaknya, ketersediaan sumber air bersih pun kian berkurang. Tak heran bila masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi itu kesulitan mendapatkan Air Tanah.

Masyarakat harus berjalan kaki setidaknya sejauh satu kilometer untuk memperoleh air bersih.

Mereka membawa ember atau jerigen untuk mengangkut air itu ke rumah masing- masing.

Jika tak mau lelah berjalan jauh, warga bisa membeli air bersih seharga Rp5000,00 per jerigen yang berisi 10 liter air.

Air bersih itu terutama digunakan untuk memasak. Sedangkan untuk kegiatan mandi, cuci, kakus (MCK) masyarakat melakukannya di sungai.

Ujang Sarip (58) dan Tuyik (65) bersama beberapa warga lain di Kampung Panyusuhan, Desa Cihanjawar, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, yang terletak di area penyangga TNGGP kala itu berusaha membuat sumur hingga tujuh sumur.

“Sampai 20 meter dalamnya, tetap belum menemukan air,” cerita Ujang.

Mereka bahkan pernah mencoba membuat sumur bor hingga kedalaman 1,5 km menembus tanah.

“Tapi teu aya air yang keluar, yang ada bornya rusak,” sambung Tuyik, Ketua Rukun Tetangga 22, Kampung Panyusuhan.

Harapan mereka untuk bisa menikmati air bersih secara mudah mulai terang ketika di tahun 2008 dilakukan upaya pemulihan ekosistem di TNGGP.

Pemulihan ini merupakan sinergi antara Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, LSM Conservation International Indonesia (CII), dan perusahaan swasta Daikin Industry.

Masyarakat di sekitar TNGGP juga dilibatkan dalam proses pemulihan ini, sehingga kesadaran akan pentingnya berwawasan dan berperilaku hijau pun muncul dan terus meningkat.

Pemulihan ekosistem tersebut membuat TNGGP yang semula gundul menjadi hijau kembali.

Fungsi hutan sebagai sumber air pun bisa dinikmati lagi. Setelah konservasi muncul tiga mata air baru yang mungkin dulu pernah ada kemudian menghilang, dan kini hidup kembali.

Yang menjadi persoalan berikutnya, letak mata air tersebut di ketinggian dan jaraknya sekitar tujuh kilo meter dari kampung.

Perlu usaha yang tidak mudah juga bagi masyarakat untuk membawa air bersih ini ke rumah.

Untuk menjawab persoalan itu pada tahun 2012 LSM Conservation Internasional Indonesia (CII) didukung oleh Daikin Industry membangun fasilitas air bersih.

Air dari mata air di pegunungan dialirkan melalui pipa besar dan ditampung di pos penyaluran berupa tandon-tandon berkapasitas lebih 1000 liter yang dipasang di tiga kampung yang terletak di punggung gunung, yaitu Kampung Panyusuhan, Kampung Lamping, dan Kampung Pasirbuntu.

Dari pos tersebut air kemudian dialirkan ke rumah-rumah melalui selang dan pipa kecil, tetapi belum ada aturan meteran.

Ujang dan Tuyik lah yang mesti siaga mengecek supaya penyaluran air selalu lancar dan terbagi merata, terutama di Kampung Panyusuhan.

Mereka berdua juga bertugas menjaga debit air yang mengalir dari sumber air di TNGGP.

Sekitar dua hingga tiga kali sebulan mereka rutin mengecek sumber air di atas.

Fasilitas air ini menurut Dodi Rahmat, S.Pd., Kepala Desa Cihanjawar, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, bisa memenuhi kebutuhan air bersih untuk 300 rumah atau 1200 orang.

“Berkat konservasi hutan ketersediaan sumber air terjamin, meski kemarau debit air tetap banyak, aliran air lancar, apalagi di musim hujan air berlimpah,” ujar Dodi kepada tropis.co, saat acara kunjungan ke TNGGP Selasa lalu (2/10/2018).

Kini masyarakat bisa mengambil air kapan saja. Mereka tak perlu membayar mahal, hanya iuran Rp5000,00 per bulan setiap rumah, untuk biaya pemeliharaan.

Selain dari swadaya masyarakat, Pemerintah Daerah setempat juga membantu untuk pemeliharaan.

Di samping ketersediaan air terjamin, menurut Ujang konservasi juga memberi manfaat pada kondisi udara yang kini tak sepanas dulu.

“Dulu kalau kemarau panjang panasnya bukan main, sekarang lumayan lebih teduh,” kata Ujang yang sehari-hari berjualan sembako.

Setelah merasakan nikmatnya bisa mendapatkan air bersih dengan mudah, tambah Ujang, warga sadar akan pentingnya keberadaan hutan untuk menjamin ketersediaan air. (rin)