Masyarakat Adat Harus Diikutsertakan Dalam Pengendalian Iklim

Sudah ada sekitar 1,6 juta hektare hutan adat yang terpetakan secara partisipatif di daerah yang telah memiliki Perda Pengakuan Masyarakat Adat. Foto : Jambi Link
Sudah ada sekitar 1,6 juta hektare hutan adat yang terpetakan secara partisipatif di daerah yang telah memiliki Perda Pengakuan Masyarakat Adat. Foto : Jambi Link

TROPIS.CO, SAN FRANCISCO – Masyarakat adat di sejumlah negara barangkali sedang bergembira. Pasalnya 34 pimpinan daerah dari berbagai negara tergabung dalam Gubernur untuk Iklim dan Hutan (Governor’s Climate and Forests) satu suara, bermitra dengan mereka dalam mengendalikan perubahan iklim.

Sebanyak 13 poin telah disepakati menjadi pedoman prinsip kemitraan antara Governor’s Climate and Forests (GCF) dengan masyarakat adat global yang tentunya diawali dengan pengakuan hak masyarakat adat, termasuk dengan wilayahnya, sehingga upaya menjaga hutan demi pengendalian perubahan iklim dapat berjalan.

Ini menjadi semacam “kata sandi” bagi masyarakat adat global untuk masuk dan terlibat lebih besar dalam upaya menahan peningkatan suhu bumi di atas dua derajat Celsius pada 2030 sesuai dengan Paris Agreement.

“Itu (13 poin kemitraan GCF dan masyarakat adat global, red.) sudah tidak mengawang-awang lagi, itu jelas. Pertama soal pengakuan masyarakat adat, menjamin hak masyarakat adat, setelah itu baru bicara langkah-langkah di wilayah adat,” kata Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi ditemui di sela-sela Rapat Satuan Tugas (Satgas) Gubernur untuk Iklim dan Hutan di San Francisco, Rabu (12/9/2018).

Menurutnya, justru karena pengakuan itu berjalan lama di Indonesia, jika semua gubernur di Indonesia melakukan 13 poin yang disepakati GCF akan mempercepat upaya-upaya melindungi hutan-hutan dengan kondisi baik yang tersisa untuk mengendalikan peningkatan suhu bumi.

Prinsip-prinsip pedoman kemitraan Satgas GCF dan masyarakat adat global yang disepakati di San Francisco ini hanya embrio yang bisa menjadi panduan gubernur-gubernur lain di Indonesia untuk melakukan hal sama.

Oleh karena inisiatif-inisiatif seperti mengelola hutan adat sebenarnya sudah banyak, seperti di Banten dan Sulawesi Selatan, maka hal itu sesungguhnya tinggal mengonsolidasikan yang sudah ada di Indonesia.

Bahkan, yang tidak bergabung dengan GCF juga sudah ada yang memiliki hal itu.

Rukka menyebutkan, Provinsi Sumatera Barat sudah memiliki Peraturan Daerah Pengakuan Masyarakat Adat, sedangkan di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat sedang berproses.

Di level kabupaten/kota sudah banyak perda yang sama, seperti di Sulawesi Selatan dan Bengkulu.

Sebelumnya, Deputi Bidang Kelembagaan, Komunikasi, dan Penggalangan Sumber Daya AMAN Mina Susana Setra sempat mengatakan sudah ada sekitar 1,6 juta hektare hutan adat yang terpetakan secara partisipatif di daerah yang telah memiliki Perda Pengakuan Masyarakat Adat.

Namun, tampaknya penetapan hutan adat yang merupakan program Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak hanya persoalan ada atau tidaknya perda di level daerah.

Berdasarkan data KLHK, hingga Agustus 2018, luas hutan adat di Indonesia mencapai 24.378,34 hektare.

Menurut Kepala Bagian Hutan Adat Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Prasetyo, masih ada delapan hutan adat dengan luas sekitar 4.000 ha yang juga sedang dalam proses untuk mendapatkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kearifan Lokal

Bupati Malinau Yansen T.P., ditemui di sela-sela GCF itu, mengatakan banyak kesamaan kearifan lokal yang bisa dipelajari dalam pertemuan ini.

Dari penyampaian beberapa masyarakat adat global di pertemuan ini dapat diketahui memiliki kesamaan dengan kearifan lokal di Indonesia.

Masyarakat adat sudah ribuan tahun memiliki kearifan lokal yang sungguh-sungguh luar biasa mampu menjaga keutuhan dan kelestarian alam. Akan tetapi, sayangnya tidak banyak orang di Indonesia yang sadar akan kelebihan itu.

Yansen berharap, pemerintah lebih memahami isi-isi budaya sendiri.

“Karena jika berbicara berbeda-beda tetapi satu, cerminnya ya kearifan lokal itu. Kalau kita menjaga ini berarti kita mengukuhkan kebangsaan kita,” ujarnya.

Mudah-mudahan keikutsertaan pemerintah daerah dalam forum yang peduli dengan lingkungan ini akan makin menguatkan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dalam menangani persoalan lingkungan, terutama perubahan iklim.

“Saya katakan pemerintah pusat karena pemerintah lokal sudah punya kepedulian.”

“Cuma pusat yang harus punya keseriusan yang sungguh-sungguh dan keberpihakan pada daerah, sehingga kekuatan yang dimiliki masyarakat adat dan komunitas lokal dapat berjalan baik,” ujarnya.

Ia mencontohkan tentang masyarakat adat yang bisa menjaga alam ada di Badui, di Sumatera juga ada suku-suku di pedalaman, begitu pula di Kalimantan dan Papua.

Mereka hidup di sekitar hutan. Budaya-budaya mereka ini perlu dijaga dan harus dihidupkan.

“Jangan justru ‘dijajah’. Dengan demikian Indonesia akan jauh luar biasa,” katanya.

Yansen berpandangan, pergeseran Kabupaten Malinau dari konservasi menjadi daerah yang mendukung Perhutanan Sosial yang menjadi program KLHK dan didalamnya ada hutan adat terjadi karena adanya kesadaran masyarakat setempat bahwa mereka hidup bergantung dengan hutan.

Hubungan Kuat Dalam dua hasil studi, “A Global Baseline of Carbon Storage in Collective Lands” yang dikeluarkan Woods Hole Research Center (WHRC), the Environmental Defense Fund, the World Resources Institute (WRI), dan the Rights and Resources Initiative (RRI) serta “At A Crossroads” yang dikeluarkan RRI menjelang gelaran Global Climate Action Summit (GCAS) 2018 di San Francisco, mengilustrasikan kuatnya hubungan mengamankan hak lahan masyarakat dan komunitas adat dengan melindungi hutan untuk mitigasi perubahan iklim.

Hasil studi pertama yang menghitung secara komprehensif stok karbon yang tersimpan tidak hanya di permukaan tetapi juga di bawah hutan-hutan masyarakat adat dan komunitas lokal dunia, menunjukkan angka 293.061 juta metrik ton CO2 atau setara 33 kali emisi energi global pada 2017.

Dari hasil studi itu pula diketahui bahwa masyarakat adat dari AMAN, Mesoamerican Alliance of Peoples and Forests(Alianza Mesoamericana de Pueblos y Bosques/AMPB)Coordinator of Indigenous Organizations of the Amazon River Basin (Coordinadora de las Organizaciones Indgenas de la Cuenca Amaznica/COICA) yang tergabung dalam Guardian of The Forest menunjukkan kemampuan mengelola stok karbon di hutan-hutan mereka lima kali lipat lebih besar dari hasil studi pada 2016 yang dilakukan hanya di permukaan hutan tropis.

Director for Strategic Analysis and Global Engagement at RRI Alain Frechette mengatakan dampak dari tidak cepatnya negara-negara berkembang mengakui dan memperkuat hak masyarakat adat meninggalkan persoalan untuk perubahan iklim.

Dari hasil penelitian, ia mengatakan bahwa setidaknya sepertiga karbon yang dikelola komunitas adat yang berada di hutan-hutan negara tropis dan sub tropis yang hanya sedikit mendapat pengakuan haknya, justru menempatkan mereka, hutan mereka, dan karbon yang tersimpan di dalamnya ke dalam risiko.

Data The Global Forest Watch menyebutkan bahwa memberikan pengakuan hak kepada masyarakat adat dan komunitas lokal adalah cara yang terjangkau, solusi tanpa teknologi untuk mengurangi deforestasi.

Jumlah hilangnya tutupan pohon separuh lebih rendah di tanah masyarakat adat dan komunitas lokal dibandingkan dengan lokasi lain. (*)