Luas Sawit dunia hanya 11,5% ketimbang Soft Oil

Ladang kedelai lebih luas ketimbang kebun sawit, apakah ini bukan deforestasi

TROPIS.CO –JAKARTA. Totalitas luas kebun sawit dunia hanya 38 juta hektar atau sekitar 11,5% ketimbang luas soft Oil atau minyak nabati lainnya; minyak kedelai, minyak bunga matahari, rapseed, jagung dan kacang tanah.
Luas soft oil, kata Sahad Sinaga, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Makan Indonesia – GIMMI, telah mencapai seluas 328 juta hektar, sekitar 61 % diantaranya merupakan luas perkebunan kedelai yang tersebar di sejumlah negara di kawasan Amerika dan Brazil.
Dengan luas perkebunan kelapa sawit yang hanya 11,5 % itu, produksi minyak sawit dunia hampir mendekati produksi soft oil yang kini dalam kisaran 60 juta ton. “ Dengan gambaran seperti ini, dapat dipastikan, ada misi dagang di balik isu deforestasi yang mereka hembuskan melalui berbagai NGOs,”tandas Sahad.
Tudingan mereka itu tidak didasari data yang akurat dan valid. Lagi pula dengan luasan yang hanya 38 juta hektar, dan Indonesia hanya sekitar 12 juta hektar, diyakini tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan iklim. Hanya persoalannya isu deforestasi di Indonesia yang ditudingkan kepada kelapa sawit sebagai penyebabnya, terlampau diblow-up karena didasari kepentingan dagang di baliknya, bukan semata lingkungan dan ekosistem.
Kalau dengan 12 juta hektar – lantaran tudingannya lebih banyak diarahkan kepada sawit Indonesia, dan juga Malaysia sekitar 5 juta hektar, dianggap telah memberikan dampak terhadap perubahan iklim dunia, bagaimana dengan 328 juta hektar soft oil. “ Apakah ladang kedelai, bunga matahari, rapseed dan lainnya itu, berasal dari gurun pasir bukan dari hutan, hingga dianggap tidak berpengaruh terhadap perubahan iklim,” tandas Sahad.
Jadi sangat jelas dan yakin, bahwa tudingan sawit sebagai penyebab deforestasi itu hanya alasan belaka. Hanya sayangnya, sebagian pihak di Indonesia merespon tudingan itu sebagai suatu kebenaran. “ Sangat ironis memang, bahkan diantara mereka itu ada yang terlibat dalam penentu kebijakan, sehingga tak aneh berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, justru sangat menghambat bukan mendukung,”tambahnya.
Karena itu, Sahad sangat sependapat, agar pemerintah bersikap tegas terhadap penyebar isu deforestasi . Persoalnya bukan sebatas mendiskreditkan industri kelapa sawit , tapi juga telah mengancam pertumbuhan ekonomi nasional. Bagaimana tidak, kontribusi minyak sawit terhadap pergerakan ekonomi nasional kini sangat signifikan, dan terbesar dalam perolehan devisa yang tahun kemarin sudah mendekati Rp 300 triliun lebih. Sehingga bila dituding terus dengan isu isu yang tak yang dilengkapi dengan data akurat dan valid, membuat kerja tidak fokus.
“Pemerintah hendak bersikap tegas memberikan sanksi kepada penyebar isu deforestasi beserta antek anteknya di Indonesia, karena keberadaan mereka dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan ekonomi bangsa,”ujar Sahad lagi. Nah, inilah pengaruhnya kalau Indonesia begitu bebas orang asing (baca NGos-red),mereka berbuat tanpa sanksi, dan keberadaan mereka tidak memberikan kontribusi, termasuk sebagai penyediaan lapangan kerja. “Beda dengan India, semua NGOs yang tidak memberikan kontribusi positif pada negara, ditutup, dan aliran dananya diblokir.”